Rabu, 06 Oktober 2010

Martabat dan Jabatan Imam oleh St. Alfonsus Maria de Liguori Pujangga Gereja

Bab Satu
MARTABAT IMAMAT


I. Gagasan Martabat Imamat

Dalam epistula kepada umat Kristiani di Smyrna, St Ignatius, martir, mengatakan bahwa imamat adalah martabat yang paling luhur dari segala martabat yang ada, “Puncak segala martabat adalah imamat.” St Efrem menyebut imamat sebagai suatu martabat yang tak terhingga, “Imamat adalah suatu mukjizat yang menakjubkan, yang agung, yang dahsyat dan yang tak terhingga.” St Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa walau tugas-tugas imamat dilakukan di dunia, tetapi imamat sesungguhnya terhitung di antara hal-hal surgawi.” Menurut Cassian, imam Tuhan mengungguli segala kekuasaan duniawi, dan mengungguli segala kedudukan surgawi - imam lebih rendah hanya dari Allah saja. Innosensius III mengatakan bahwa imam berada di antara Tuhan dan manusia; lebih rendah dari Allah, tetapi lebih tinggi dari manusia. St Denis menyebut imam sebagai manusia ilahi. Sebab itu, ia menyebut imamat sebagai suatu martabat ilahi. Akhirnya, St Efrem mengatakan bahwa karunia martabat imamat melampaui segala pengertian. Bagi kita cukuplah mengetahui bahwa Yesus Kristus telah mengatakan bahwa kita wajib memperlakukan para imam-Nya seperti kita memperlakukan-Nya, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku.” Karenanya, St Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa “Barangsiapa menghormati imam, menghormati Kristus, dan barangsiapa menghina imam, menghina Kristus.” Terdorong oleh hormat yang mendalam kepada martabat imamat, St Maria dari Oignies biasa mencium tanah yang dilewati imam.     

II. Pentingnya Jabatan Imamat

Martabat imam dinilai dari kodrat jabatannya yang luhur. Para imam dipilih oleh Tuhan untuk menyelenggarakan di dunia ini segala urusan dan perhatian-Nya. St Sirilus dari Alexandria mengatakan, “Sungguh ilahi jabatan yang dipercayakan kepada para imam.” St Ambrosius menyebut jabatan imamat sebagai profesi ilahi. Seorang imam adalah seorang pelayan yang ditetapkan Tuhan untuk menjadi duta umum bagi segenap Gereja, untuk menghormati-Nya, dan memperolehkan rahmat-rahmat-Nya bagi segenap umat beriman. Segenap Gereja tidak dapat memberikan kepada Tuhan penghormatan sebesar, pula memperolehkan rahmat sebanyak, yang dapat dilakukan seorang imam dengan merayakan satu Misa Kudus; sebab penghormatan terbesar yang dapat diberikan kepada Tuhan oleh segenap Gereja tanpa imam hanyalah persembahan kurban hidup segenap manusia. Tetapi apakah artinya kurban hidup segenap manusia dibandingkan dengan kurban Yesus Kristus, yang adalah kurban yang tak terhingga nilainya? Apakah artinya segenap manusia di hadapan Tuhan selain dari sekedar debu? Bagaikan setetes air dengan samudera, bagaikan seberkas debu belaka. Semua itu tak ada artinya sama sekali di hadapan-Nya; segenap bangsa-bangsa di hadapan-Nya seolah tidak ada. Dengan demikian, dengan merayakan satu Misa Kudus saja, di mana imam mempersembahkan Yesus Kristus sebagai kurban, seorang imam memberikan penghormatan yang jauh terlebih besar kepada Tuhan, daripada jika segenap umat manusia mati demi mempersembahkan kurban hidup mereka kepada Tuhan. Dengan satu Misa Kudus, imam memberikan penghormatan yang jauh terlebih besar kepada Tuhan daripada segala yang telah diberikan maupun yang akan diberikan kepada Tuhan oleh segenap para malaikat dan para kudus, bersama dengan Santa Perawan Maria; sebab sembah sujud mereka tidak dapat memiliki nilai yang tak terhingga, seperti yang dipersembahkan imam kepada Tuhan melalui perayaan di altar. Di samping itu, dalam Misa Kudus, imam mempersembahkan kepada Tuhan suatu ucapan syukur yang layak atas segala rahmat yang dicurahkan-Nya bahkan atas mereka yang Diberkati di Firdaus; suatu ucapan syukur yang demikian, bahkan segenap para kudus secara bersama-sama tak akan dapat mempersembahkannya kepada Tuhan. Sebab itu, dalam hal ini juga martabat imam lebih tinggi bahkan dari segala martabat surgawi. Di samping itu, seorang imam, kata St Yohanes Krisostomus, adalah duta seluruh dunia, untuk menjadi perantara kepada Tuhan dan memperolehkan rahmat-rahmat bagi segenap ciptaan. Imam, menurut St Efrem, “diperlakukan mesra oleh Tuhan.” Bagi para imam, semua pintu terbuka. Yesus telah wafat demi menetapkan imamat. Tidaklah perlu bagi Sang Penebus untuk wafat hanya jika demi menyelamatkan dunia; setetes Darah-Nya, sebutir airmata-Nya, atau doa-Nya, sudahlah cukup untuk memperolehkan keselamatan bagi segenap umat manusia; sebab doa-Nya, yang tak terhingga nilainya, sudahlah cukup untuk menyelamatkan bukan hanya satu melainkan seribu dunia. Namun, demi menetapkan imamat, Yesus Kristus harus wafat. Andai Ia tidak wafat, dari manakah gerangan kita mendapatkan kurban yang sekarang dipersembahkan oleh para imam dari Hukum yang Baru? Suatu kurban yang sekaligus kudus dan tak bercela, yang dapat memberikan kepada Tuhan suatu penghormatan yang layak bagi Tuhan. Seperti telah dikatakan di atas, segenap hidup umat manusia dan para malaikat tidaklah dapat memberikan kepada Tuhan suatu penghormatan tak terhingga seperti yang dipersembahkan seorang imam kepada-Nya dengan satu perayaan Misa Kudus.  

III. Keagungan Kuasa Imamat

Martabat imam juga dinilai dari kuasa yang dimilikinya atas tubuh nyata dan tubuh mistik Yesus Kristus. Sehubungan dengan kuasa imam atas tubuh nyata Yesus Kristus, adalah karena iman, saat imam mendaraskan kata-kata konsekrasi, Inkarnasi Sabda membuat DiriNya Sendiri taat dan datang ke dalam tangan-tangan imam dalam rupa Sakramental. Kita terperanjat heran ketika mendengar bahwa Tuhan taat pada suara Josue - Tuhan mentaati suara manusia - dan membuat matahari diam saat ia mengatakan janganlah beranjak, wahai matahari, menuju Gabaon ... dan matahari tetap tak bergerak. Tetapi, betapa seharusnya kita jauh lebih heran ketika mendapati bahwa dalam ketaatan kepada kata-kata para imam-Nya - HOC EST CORPUS MEUM - Tuhan Sendiri turun ke atas altar, bahwa Ia datang di manapun mereka memanggil-Nya, dan sesering mereka memanggil-Nya, dan menempatkan Diri-Nya Sendiri dalam tangan-tangan mereka, bahkan walau mereka adalah musuh-Nya. Dan setelah datang, Ia diam, sepenuhnya dalam tangan mereka; mereka memindahkan-Nya sesuka mereka, dari satu tempat ke tempat lainnya; mereka dapat, jika mereka menghendakinya, mengunci-Nya dalam tabernakel, atau mentahtakan-Nya di atas altar, atau membawa-Nya ke luar gereja; mereka dapat, jika mereka menghendakinya, memakan daging-Nya dan memberikan-Nya sebagai makanan kepada yang lainnya. “Oh, betapa amat dahsyat kuasa mereka,” komentar St Laurensius Justinian mengenai para imam. “Sepatah kata meluncur dari bibir mereka dan tubuh Kristus ada di sana secara substansial dalam materia roti, dan Inkarnasi Sabda turun dari surga, didapati sungguh hadir di atas meja altar! Tidak pernah kebajikan ilahi memberikan kuasa yang demikian kepada para malaikat. Para malaikat tunduk pada perintah Allah, tetapi para imam menggenggam-Nya dalam tangan mereka, membagi-bagikan-Nya kepada umat beriman, dan menyantap-Nya sebagai makanan bagi mereka sendiri.”

Sehubungan dengan tubuh mistik Kristus, yaitu segenap umat beriman, imam memiliki kuasa kunci, atau kuasa untuk membebaskan para pendosa dari neraka, membuat para pendosa layak akan Firdaus, dan mengubah para pendosa dari budak setan menjadi anak-anak Allah. Dan Tuhan Sendiri wajib tunduk pada penghakiman para imam-Nya, baik mengampuni atau tidak mengampuni dosa, sesuai dengan apakah imam menolak atau memberikan absolusi, dengan mengandaikan si peniten layak untuk itu. “Begitulah kuasa penghakiman yang diserahkan kepada Petrus,” kata St Maximus dari Turin, “bahwa keputusan tersebut membawa serta dengannya keputusan Allah.” Penghakiman imam mendahului, dan Tuhan mengikuti, tulis St Petrus Damianus. Karenanya, St Yohanes Krisostomus menyimpulkan, “Tuan penguasa alam semesta hanya mengikuti hamba-Nya dalam meneguhkan di surga segala yang telah diputuskan hamba-Nya itu di bumi.” Para imam adalah penyalur rahmat-rahmat ilahi dan sahabat-sahabat karib Tuhan. “Pikirkan para imam,” kata St Ignasius, Martir, “sebagai penyalur rahmat-rahmat ilahi dan sahabat karib Tuhan.” Kata St Prosper, “Para imam adalah kolom-kolom kemuliaan Gereja yang tak dapat dipindahkan; mereka adalah pintu-pintu kota abadi; melalui mereka semua sampai pada Kristus; mereka adalah para pelindung yang waspada kepada siapa Tuhan telah mempercayakan kunci kerajaan surga; mereka adalah para pengurus kerajaan, untuk memberikan kepada setiap orang menurut kehendak hati-Nya tempat-Nya dalam hierarki.”

Andai sang Penebus turun ke sebuah gereja, dan duduk di kamar pengakuan untuk melayani Sakramen Pengakuan Dosa, dan seorang imam duduk di kamar pengakuan yang lain, Yesus akan mengatakan kepada setiap peniten, “Ego te absolvo,” dan imam juga akan mengatakan kepada setiap peniten, “Ego te absolvo,” maka baik peniten yang dilayani Yesus maupun yang dilayani imam akan menerima absolusi yang sama. Betapa kehormatan yang luarbiasa yang dianugerahkan seorang raja kepada bawahannya yang diberinya kuasa untuk membebaskan para tawanan dari penjara sebanyak yang ia kehendaki! Tetapi, alangkah jauh terlebih luarbiasa kuasa yang diberikan Bapa yang kekal kepada Yesus Kristus, dan yang Yesus Kristus berikan kepada para imam-Nya, untuk menyelamatkan dari neraka bukan saja tubuh tetapi juga jiwa umat beriman. “Putra,” kata St Yohanes Krisostomus, “telah menempatkan ke dalam tangan-tangan para imam segala penghakiman; seolah para imam telah dibawa ke surga untuk dianugerahi hak istimewa ilahi ini. Andai seorang raja memberikan kepada seorang yang fana kuasa untuk membebaskan segala tawanan dari penjara, maka semuanya akan menggemakan sorak-sorai gembira; tetapi para imam telah menerima dari Tuhan kuasa yang jauh lebih dahsyat, sebab jiwa jauh lebih mulia daripada tubuh.”  

IV. Martabat Imam Melampaui Segala Martabat Lainnya

Dengan demikian, martabat imam adalah yang paling luhur dari segala martabat di dunia ini. St Ambrosius mengatakan, “Tidak ada yang lebih unggul darinya di dunia ini.” “Martabat imam,” kata St Bernardus, “melampaui segala martabat para raja, para kaisar dan bahkan para malaikat.” Menurut St Ambrosius, martabat imam jauh melampaui martabat raja, seperti nilai emas dibandingkan nilai sehelai daun. Alasannya ialah, karena kuasa raja mencakup hanya hal-hal sementara dan tubuh manusia, tetapi kuasa imam mencakup hal-hal rohani dan jiwa manusia. Sebab itu, kata St Klemens, “sama seperti jiwa jauh lebih mulia daripada tubuh, begitu pula jabatan imamat jauh lebih unggul daripada jabatan kerajaan.” “Para pangeran,” kata St Yohanes Krisostomus, “mempunyai kuasa untuk mengikat, tetapi hanya mengikat tubuh, sementara imam mengikat jiwa.” Raja-raja dunia bangga dapat menghormati para imam. Paus St Marcellinus mengatakan, “Suatu tanda dari seorang pangeran yang baik adalah ia menghormati para imam Tuhan.” “Mereka dengan suka hati,” kata Petrus de Blois, “bertekuk lutut di hadapan imam Tuhan; mencium tangannya, dan dengan menundukkan kepala menerima berkat.” “Martabat imamat,” kata St Krisostomus, “meniadakan martabat kerajaan; sebab itu raja menundukkan kepalanya di bawah tangan imam demi menerima berkatnya.”   

Baronius mengisahkan bahwa ketika Kaisar perempuan Eusebia memanggil Uskup Leontius dari Tripoli, uskup mengatakan bahwa jika kaisar ingin bertemu dengannya, maka kaisar harus tunduk pada dua prasyarat berikut: pertama, bahwa pada saat kedatangannya, kaisar harus segera turun dari tahta, dan dengan menundukkan kepala mohon berkatnya; kedua, bahwa uskuplah yang akan duduk di atas tahta dan bahwa kaisar tidak akan duduk di atas tahta tanpa ijinnya; Uskup Leontius menambahkan, jika kaisar tidak menyetujui kedua prasyarat ini, maka uskup tidak akan pernah datang ke istana. Saat diundang ke meja Kaisar Maximus, St Martin pertama-tama menyampaikan salam hormat kepada imamnya, dan baru kemudian kepada kaisar. Dalam Konsili Nicea, Kaisar Konstantinus menghendaki dirinya duduk di tempat paling akhir, setelah semua imam, dan di atas kursi yang lebih rendah dari yang diduduki para imam; ia bahkan tak hendak duduk tanpa ijin mereka. St Boleslans, seorang raja yang kudus, begitu menghormati para imam, hingga ia tak berani duduk di hadapan mereka.

Martabat imam juga melampaui martabat para malaikat; para malaikat sendiri juga menunjukkan rasa hormat mereka kepada imamat, demikian St Gregorius Nazianzen. Tak satu pun dari para malaikat di surga dapat memberikan absolusi atas suatu dosa. Para malaikat pelindung memperolehkan bagi jiwa-jiwa yang dipercayakan dalam pemeliharaan mereka, rahmat untuk mendapatkan seorang imam agar imam memberikan absolusi bagi mereka. St Petrus Damianus mengatakan, “Meski para malaikat ada di sana, namun mereka menunggu imam menjalankan kuasanya; tak satu pun dari para malaikat itu yang memiliki kuasa kunci - yaitu kuasa mengikat dan melepaskan.”

Apabila Malaikat Agung St Mikhael datang kepada seorang Kristiani yang sedang berada di ambang maut yang memohon pertolongannya, malaikat agung yang kudus ini dapat menghalau roh-roh jahat, tetapi ia tak dapat membebaskan orang yang memohon pertolongannya itu dari belenggu roh-roh jahat hingga seorang imam datang untuk memberinya absolusi. Setelah memberikan tahbisan imamat kepada seorang klerus yang kudus, St Fransiskus de Sales memperhatikan bahwa pada saat hendak keluar, klerus itu berhenti di pintu seolah mempersilakan seorang lewat terlebih dahulu. Ketika ditanya oleh St Fransiskus mengapa ia melakukan hal itu, klerus menjawab bahwa Tuhan telah menganugerahinya karunia untuk dapat melihat malaikat pelindungnya, yang sebelum ia menerima tahbisan senantiasa berada di sebelah kanan dan berjalan mendahuluinya, tetapi setelah ia menerima tahbisan, malaikat pelindung berjalan di sebelah kirinya dan menolak berjalan mendahuluinya. Saat ia berhenti di pintu itulah terjadi perdebatan kudus dengan malaikat pelindungnya. St Fransiskus dari Assisi biasa mengatakan, “Andai aku melihat seorang malaikat dan seorang imam, aku akan terlebih dahulu berlutut di hadapan imam dan baru kemudian di hadapan malaikat.” Di samping itu, kuasa imam melampaui kuasa Santa Perawan Maria; sebab, walau Bunda Allah dapat mendoakan kita, dan doa-doanya senantiasa dikabulkan apa pun yang dikehendakinya, namun ia tak dapat memberikan absolusi kepada seorang Kristiani betapapun kecil dosa orang itu. “Santa Perawan nyata jauh lebih sempurna dari para rasul,” kata Innosensius III, “namun demikian, bukan kepada Santa Perawan, melainkan hanya kepada para rasul, Tuhan mempercayakan kunci kerajaan surga.” St Bernardine dari Sienna menulis, “Santa Perawan, maafkan aku, tetapi aku tidak berbicara melawan engkau: Tuhan telah menaikkan imamat di atas engkau.” St Bernardine mengemukakan alasan superioritas imamat di atas Maria; Bunda Maria mengandung Yesus Kristus hanya sekali saja; tetapi dengan konsekrasi Ekaristi, imam, seolah, mengandung Yesus Kristus sebanyak yang ia kehendaki, sehingga andai manusia Penebus belum ada di dunia ini, maka imam, dengan mendaraskan kata-kata konsekrasi, akan melahirkan manusia agung ini, Allah Manusia. “Wahai, betapa mengagumkan martabat para imam,” seru St Agustinus; “dalam tangan mereka, seperti dalam rahim Santa Perawan, Putra Allah berinkarnasi.”

Karenanya, imam disebut sebagai orangtua Yesus Kristus: begitulah gelar yang diberikan St Bernardine kepada mereka, sebab mereka adalah penyebab aktif dengan mana Ia dihadirkan sungguh nyata dalam Hosti yang telah dikonsekrir. Dengan demikian imam, dalam suatu cara tertentu, dapat disebut sebagai pencipta dari sang Pencipta-nya, sebab dengan mengucapkan kata-kata konsekrasi, imam menciptakan, seolah demikian, Yesus dalam Sakramen, dengan memberi-Nya kehadiran Sakramental, dan menjadikan-Nya sebagai kurban untuk dipersembahkan kepada Bapa yang kekal. Sama seperti dalam penciptaan dunia, cukuplah bagi Allah untuk mengatakan, `Jadilah', maka semuanya diciptakan - Tuhan bersabda dan semuanya dijadikan - demikian pula cukuplah bagi imam untuk mengatakan “Hoc est corpus meum,” dan lihatlah, roti bukan lagi roti, melainkan tubuh Yesus Kristus. “Kuasa imam,” kata St Bernardine dari Sienna, “adalah kuasa manusia ilahi; sebab transsubstansiasi roti membutuhkan kuasa sebanyak kuasa penciptaan dunia.” Dan St Agustinus menulis, “Wahai tangan-tangan kudus yang patut dihormati! Wahai betapa mulianya jabatan imam! Ia yang telah menciptakan [jika boleh aku katakan] memberiku kuasa untuk menciptakan-Nya; dan Ia yang telah menciptakanku tanpa aku adalah Ia Sendiri yang aku ciptakan!” “Sama seperti Sabda Allah menciptakan langit dan bumi,” kata St Hieronimus, “begitulah, kata-kata imam menciptakan Yesus Kristus.” “Karena tanda dari Tuhan, dari ketiadaan jadilah baik kubah surga yang agung mulia maupun hamparan bumi yang luas; tetapi tak kalah dahsyat kuasa yang bekerja dalam kata-kata misterius seorang imam.” Martabat imam begitu agung, hingga ia bahkan memberkati Yesus Kristus di atas altar sebagai kurban untuk dipersembahkan kepada Bapa yang kekal. Dalam kurban Misa, tulis Pastor Mansi, Yesus Kristus adalah sekaligus pelayan dan kurban utama; sebagai pelayan, Ia memberkati imam; tetapi sebagai kurban, imam memberkati-Nya.

V. Tingginya Jabatan Imamat

Keagungan martabat imam juga dinilai dari tingginya posisi yang ia duduki. Dalam Sinode Chartres tahun 1550, jabatan imamat disebut kursi para kudus. Para imam disebut Vikaris Yesus Kristus, sebab mereka menduduki tempat-Nya di dunia. “Kalian menduduki tempat Kristus,” kata St Agustinus kepada para imam; “sebab itu kalian adalah para wakil-Nya.” Dalam Konsili Milan,St Carolus Borromeus menyebut para imam sebagai wakil pribadi Tuhan di dunia. Dan sebelum dia, rasul mengatakan: Bagi Kristus, kami adalah utusan-utusan; Tuhan, seolah, didesak oleh kami. Ketika Ia naik ke surga, Yesus Kristus memberikan tempat-Nya di dunia kepada imam-Nya sebagai pengantara antara Tuhan dan manusia, teristimewa di altar. “Membiarkan para imam menghampiri altar sebagai alter Kristus,” demikian St. Laurensius Justinian.

Menurut St Siprianus, seorang imam di altar melaksanakan tugas Kristus. Ketika, kata St Krisostomus, kalian melihat seorang imam mempersembahkan kurban, renungkanlah akan tangan Kristus yang tak kelihatan yang ada di sana. Imam menduduki tempat sang Juruselamat Sendiri, ketika, dengan mengatakan “Ego te absolvo,” ia memberikan absolusi atas dosa. Kuasa yang sungguh luarbiasa ini, yang telah diterima Yesus Kristus dari BapaNya yang kekal, Ia delegasikan kepada para imam-Nya. “Yesus,” kata Tertulianus, “menanamkan kuasa-Nya Sendiri dalam diri para imam-Nya.” Demi mengampuni satu dosa saja dibutuhkan segenap kemahakuasaan Allah. “Ya Tuhan, Engkau yang terutama menyatakan kemahakuasaan-Mu dalam mengampuni dan menunjukkan belas kasihan,” dst., kata Gereja yang kudus di salah satu doanya. Sebab itu, ketika mereka mendengar bahwa Yesus Kristus mengampuni dosa si lumpuh, orang-orang Yahudi dengan tepat mengatakan: Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah saja. Tetapi apa yang hanya dapat dilakukan oleh Tuhan saja dengan kemahakuasaan-Nya, dapat juga dilakukan imam dengan mengatakan “Ego te absolvo a peccatis tuis;” sebab forma sacramenti, atau rumusan forma, menghasilkan apa yang dinyatakannya. Apa yang dilakukan imam sungguh luarbiasa mengagumkan, sebab dengan mengatakan “Ego te absolvo” ia mengubah pendosa dari seorang musuh menjadi sahabat Tuhan, dan dari seorang budak neraka menjadi ahli waris Firdaus. Kardinal Hugo mewakili Tuhan menyampaikan kata-kata berikut kepada seorang imam yang memberikan absolusi kepada seorang pendosa, “Aku telah menciptakan langit dan bumi, tetapi kepadamu Aku mempercayakan suatu penciptaan yang lebih baik dan mulia; menjadikan dari suatu jiwa yang berdosa ini, suatu jiwa yang baru, yaitu, menjadikan dari budak setan ini, demikianlah jiwa itu, seorang anak Allah. Aku telah menjadikan bumi menghasilkan segala jenis buah-buahan, tetapi kepadamu Aku mempercayakan suatu penciptaan yang lebih indah, yaitu, agar jiwa menghasilkan buah-buah keselamatan.”   

Jiwa tanpa rahmat adalah bagaikan pohon yang gersang yang tak lagi dapat menghasilkan buah; tetapi dengan menerima rahmat ilahi melalui pelayanan seorang imam, ia akan menghasilkan buah-buah kehidupan kekal. St Agustinus mengatakan bahwa menguduskan seorang pendosa merupakan karya yang lebih besar daripada menciptakan langit dan bumi. Dan adakah engkau, kata Ayub, memiliki tangan seperti Allah, dan dapatkah engkau mengguntur dengan suara seperti suara Allah? Siapakah gerangan yang memiliki tangan seperti tangan Allah, dan mengguntur dengan suara seperti suara Allah yang mengguntur? Imamlah, yang dengan memberikan absolusi, mengerahkan tangan dan suara Allah, dengan mana ia menyelamatkan jiwa-jiwa dari neraka. Menurut St Ambrosius, seorang imam, dalam memberikan absolusi kepada seorang pendosa, melaksanakan tugas istimewa Roh Kudus dalam menguduskan jiwa-jiwa.

Karena itu, saat menyampaikan kepada para imam kuasa untuk mengampuni dosa, Penebus menghembusi mereka, dan mengatakan, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Ia memberikan kepada mereka Roh-Nya Sendiri, yaitu, Roh Kudus, pemurni jiwa-jiwa, dan dengan demikian menjadikan mereka, menurut kata-kata Rasul, koadjutor-Nya Sendiri: Kami adalah para koadjutor Allah. “Mengenai para imam,” kata St Gregorius, “dirasa perlu untuk memberi keputusan akhir, sebab dengan hak yang telah mereka terima dari Tuhan, sekarang mereka mengampuni atau membiarkan dosa tetap ada.” Sebab itu, St Klemens mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa imam, seolah, adalah Allah di bumi. Allah, kata Daud, tinggal dalam kumpulan allah-allah. `allah-allah” ini, menurut St Agustinus, adalah para imam Allah. Innosensius III menulis, “Sungguh, tidaklah berlebihan mengatakan bahwa dari sudut pandang keluhuran jabatan mereka, maka para imam adalah begitu banyak allah.”

VI. Kesimpulan

Karena itu, betapa dahsyatnya, kata St Ambrosius, kekacauan melihat bahwa dalam diri orang yang sama terdapat suatu keluhuran martabat sekaligus hidup yang penuh skandal, suatu profesi ilahi sekaligus tingkah laku yang keji! Kata Salvian: Apakah bedanya suatu martabat luhur yang dianugerahkan kepada seorang yang tak layak, dengan mutiara yang dibenamkan dalam lumpur? Dan tidak seorang pun, kata St Paulus, yang mengambil kehormatan itu bagi dirinya sendiri, tetapi dipanggil untuk itu oleh Allah, seperti yang telah terjadi dengan Harun. Demikian pula Kristus tidak memuliakan Diri-Nya Sendiri dengan menjadi Imam Besar, tetapi dimuliakan oleh Dia yang berfirman kepada-Nya: “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Ku-peranakkan pada hari ini.” Janganlah seorang pun, katanya, berani menaikkan diri ke jabatan imamat tanpa terlebih dahulu menerima, seperti Harun, panggilan ilahi; sebab bahkan Yesus Kristus tidak dari DiriNya Sendiri mengambil kehormatan imamat, melainkan menanti hingga BapaNya memanggil-Nya untuk itu.

Dari sini kita dapat menarik kesimpulan agungnya martabat imamat. Tetapi semakin hebat keluhurannya, hendaknya semakin hebatlah kegentarannya. “Sebab,” kata St Hieronimus, “hebatlah martabat para imam; tetapi juga, apabila mereka berdosa, hebatlah kebinasaan mereka. Marilah kita bersukacita karena telah diangkat sedemikian tinggi, tetapi marilah kita juga gentar untuk jatuh.”

Dengan pilu St Gregorius berseru, “Dikuduskan oleh tangan-tangan imam, mereka yang terpilih masuk ke dalam tanah air surgawi, tetapi betapa malang! Imam sendiri bergegas menceburkan diri ke dalam api neraka!” St Gregorius memperbandingkan imam yang demikian dengan Air Baptis yang membersihkan mereka yang dibaptis dari dosa-dosa dan menghantar mereka ke surga, “dan lalu sesudahnya air dibuang ke tempat pembuangan.”  

Sumber : “The Dignities and Duties of the Priest by St. Alphonsus Liguori C.SS.R.”; www.catholictradition.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Tradition.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar