Senin, 11 Oktober 2010

Dua Bayi dalam Palungan

Di tahun
1994, 2 orang Amerika menanggapi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk
mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab di sekolah-sekolah
umum. Mereka diundang mengajar di penjara, kantor, departemen kepolisian,
pemadam kebakaran, dan di sebuah tempat yatim piatu yang besar.
Ada sekitar 100 anak laki-laki dan perempuan penghuni di situ,
yang terbuang, ditinggalkan dan sekarang ditampung dalam program
pemerintah. Beginilah kisah dalam kata-kata mereka:
Waktu itu mendekati musim libur tahun 1994, sewaktu anak-anak
yatim piatu kita – untuk pertama kalinya – mendengar kisah Natal.
Kami cerita soal Maria dan Yusuf, yang sesampai di Bethlehem, sebab
tak mendapat penginapan, lalu pergi ke sebuah kandang binatang,
di mana bayi Yesus lahir dan diletakkan dalam sebuah palungan.
Sepanjang cerita itu, anak-anak maupun staf rumah yatim itu terpukau
diam, terpaku takjub mendengarkan. Beberapa di antaranya bahkan
duduk di ujung depan sekali kursi mereka seakan agar bisa lebih
menangkap tiap kata. Seusai cerita, semua anak-anak kami beri tiga
potong kertas karton untuk membuat palungan, juga sehelai kertas
persegi, dan sedikit sobekan kertas napkin berwarna kuning yang
kami bawa. Maklum, masa itu kertas berwarna sedang langka di kota
ini.
Sesuai petunjuk anak-anak itu menyobek kertasnya, lantas dengan
hati-hati, menyusun sobekan pita-pita seakan-akan itu jerami kuning
di palungan. Potongan kecil kain flanel digunting dari gaun malam
bekas dari seorang ibu Amerika saat meninggalkan Rusia – dipakai sebagai
selimut kecil bayi itu. Bayi mirip bonekapun digunting dari lembaran
kulit tipis yang kami bawa dari Amerika.
Mereka semua sibuk menyusun palungan masing-masing saat aku berjalan
keliling, memperhatikan kalau-kalau ada yang butuh bantuan. Semuanya
kelihatan beres, sampai aku tiba di meja si kecil Misha (seorang
anak laki-laki). Kelihatannya ia sekitar 6 tahun dan sudah menyelesaikan
proyeknya.
Sewaktu kulihat palungan bocah kecil ini, saya heran bahwa bukannya
satu, melainkan ada dua bayi di dalamnya. Cepat kupanggil penterjemah
agar menanyai anak ini kenapa ada dua bayi.
Dengan melipat tangannya dan mata menatap hasil karyanya, anak
ini mulai mengulang kisah Natal dengan amat serius.
Untuk anak semuda dia yang baru sekali mendengar kisah Natal, ia
mengurutkan semua kejadian demikian cermat dan telitinya – sampai
pada bagian kisah di mana Maria meletakkan bayi itu ke dalam palungan.
Di sini si Misha mengubahnya. Ia membuat penutup akhir kisah ini
demikian:
"Sewaktu Maria menaruh bayi itu di palungan, Yesus lalu
melihat aku dan bertanya apa aku punya tempat tinggal. Aku bilang aku tak
punya mama dan tak punya papa, jadi aku tak punya tempat untuk
tinggal. Lalu Yesus bilang aku sih boleh tinggal sama dia. Tapi
aku bilang tidak bisa, sebab aku kan tidak punya apa-apa yang
bisa kuberikan sebagai hadiah seperti orang-orang Majus dalam kisah
itu. Tapi aku begitu ingin tinggal bersamanya, jadi aku pikir, apa
yah yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah. Aku pikir barangkali kalau
aku bantu menghangatkan dia, itu bisa jadi hadiah."
"Jadi aku bertanya pada Yesus, ‘Kalau aku menghangatkanmu,
cukup tidak itu sebagai kado?’ Dan Yesus menjawab, ‘Kalau kamu menjaga dan
menghangatkan aku, itu bakal menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan siapapun padaku.’ Jadi begitu, terus aku masuk dalam
palungan itu, lantas Yesus melihatku dan bilang aku boleh kok tinggal
bersamanya – untuk selamanya."
Saat si kecil Misha berhenti bercerita, air matanya menggenang
meluber jatuh membasahi pipinya yang kecil. Wajahnya ditutupi dengan
tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke meja and seluruh tubuh dan
pundaknya gemetar saat ia menangis tersedu. Yatim piatu kecil ini
telah menemukan seseorang yang takkan pernah melupakan atau
meninggalkannya, yang takkan pernah berbuat jahat padanya, seseorang
yang akan tetap tinggal dan menemaninya – untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar