Senin, 27 September 2010

DEMOKRASI KRISTIANI

(Refleksi Managemen Kristiani di Paroki Kristus Raja Tolitoli[1])
Fr. Lucky Singal
Demokrasi tampak sebagai momok yang menakutkan bagi Gereja. Orang senantiasa mengaitkannya dengan politik yang kotor. Seorang pastor pernah mengatakan kalimat ini pada seorang bapak ketika ia mengusulkan untuk memasukkan tanggapan sekelompok orang atas suatu kebijakan: "... supaya kamu tah bahwa, di Gereja tidak ada demokrasi ...!"  Ini menjadi pertanda bahwa para pemimpin umat pun masi terasing dan merasa segan dengan praktek demokrasi dalam Gereja. Demokrasi memang muncul di abad ke-18 dari Revolusi Perancis dan Amerika; dan gereja sejak abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 sungguh bermasalah dengan demokrasi. Sebagai contoh, ingatlah ketika Paus Gregorius XVI (1831-1846) pertama kali disodori gagasan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan hati nurani. Ia berkomentar bahwa gagasan-gagasan itu sama sekali berarti kegilaan. Pada abad ke-20, John Courtney Murray dalam suatu pidatonya mengatakan perlunya Gereja melihat dimensi-dimensi positif dari demokrasi dan membuka dialog tentang demokrasi. Atas  ucapan itu, ia dibungkam oleh gereja selama 10 tahun. Namun yang lebih penting ialah bagaimana masalah di masa lalu itu disingkirkan dan dipecahkan di abad XX berawal dari Konsili Vatikan II (1962-1965). Salah satu pokok pentingnya adalah gereja menerima sekularitas Negara, bahwa gereja tidak mengharapkan negara melakukan pekerjaan atau tugas gereja, agama. Sebaliknya gereja juga tidak boleh melakukan pekerjaan negara. Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Salah satu warisan penting dari Konsili Vatikan II adalah keberhasilannya menggeser persoalan dari gereja dan negara ke persoalan yang lebih dalam dan luas yakni gereja dan dunia. Ini bukan persoalan legal atau konstitusional, melainkan persoalan sosial dan moral. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tugas gereja dalam masyarakat ialah melindungi martabat transenden dari pribadi manusia. Alasan gereja tertarik pada proses-proses politik adalah karena gereja tertarik pada manusia, karena sadar akan tugas pengutusannya bagi keselamatan manusia. Maka perlindungan atas martabat manusia bukanlah kegiatan ekstra-kurikuler dari gereja. Juga bukan opsional, marginal atau aksidental. Itulah justru jantung misi gereja! Oleh karena itu, di mana pun martabat manusia direndahkan, diabaikan, apalagi ditindas dan dikorbankan demi pembangunan, gereja harus tampil membela dengan suara lantang. Untuk itu, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa orang-orang Katolik harus masuk dalam orde politik berdasarkan apa yang diyakini tentang martabat pribadi manusia. Pribadi manusia tidak hanya suci; pribadi itu juga sosial. Maka, rancang-bangun daripada konteks sosial dan sistem sosial dapat secara desisif memengaruhi sejauh mana pribadi-pribadi punya peluang untuk menyadari martabat mereka, yang terkait dengan keduanya, social context dan social system. Justru dalam arena politiklah masyarakat memutuskan bagaimana memperlakukan setiap dan semua pribadi manusia warganya. Politik adalah salah satu arena, di mana nasib dan masa depan pribadi manusia ditentukan. Namun arena itu menjadi amat desisif dan determinan, karena keputusan menyangkut arena lain ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan dan seterusnya diambil melalui proses-proses politik, menjadi keputusan politik !.Dalam hal ini, warga gereja terbagi dua, yakni warga gereja yang adalah umat dan warga gereja yang adalah pemimpin umatnya, dengan tugas sosialnya berbeda-beda. Pemimpin umat adalah pengemban tradisi gereja sekaligus mengemban tugas sebagai imam, raja dan nabi. Artinya selaku imam yang bertakhta di atas nilai-nilai moral Kristiani senantiasa memberikan inspirasi moral kepada umatnya dan bila umatnya tidak berani menyebarkan benih moralitas Kristiani di manapun, maka seorang pemimpin gereja patut turun untuk meneriakkan nilai-nilai moral tersebut kepada setiap  telinga dan hati untuk mendengarkan dan melaksanakannya. Sebaliknya, tugas warga gereja yang merupakan umat biasa adalah mendengarkan ajaran-ajaran moral yang disampaikan oleh pemimpim umat dan sedapat-dapatnya melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bidang apa pun di mana
saja.
1. PENGERTIAN
Istilah demokrasi berasal dari kata demos artinya rakyat dan cratein yang berarti pemerintah. Abraham Lincoln (1809-1865) mendifinisikan demokrasi sebagai “ Government of people, by the people, for the people”. Kemunculan demokrasi terinspirasi fakta negara kota (polis) di kota Athena, yunani pada sekitar tahun 450 SM yang mempraktikkan pelibatan seluruh warga kota dalam proses pengambilan keputusan. Konsep yunani kono tersebut digali kembali di Eropa pada “ Zaman pencerahan” yakni era perlawanan terhadap kekuasaan gereja dan kaisar yang sarat dengan penyimpangan dan penindasaan yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu muncullah gerakan reformasi gereja yang menentang dominasi gereja dan menuntut kebebasan. Puncaknya adalah Revolusi Prancis 1789 yang berujung pada upaya kompromistik untuk memisahkan gereja dari masyarakat, negara, dan politik. Pada masa itu, orang mencari suatu model agar kukuasaan tidak dimonopoli oleh  satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan atau penguasa gereja. Ironisnya satu-satunya bahan yang tersedia bagi pemikir di abad pertengan adalah dari sejarah yunani kono. Dari sejarah itu mereka belajar bahwa di kota Athena tempo dulu diterapkan satu sistem, yaitu seluruh warga kota turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Sistem tersebut dianggap sistem yang baik oleh para pemikir abad pertengahan waktu itu. Mereka yang sedang tertekan oleh kediktatoran para raja dan kaum bangsawan serta para penguasa gereja kemudaian mengadopsi sistem Athena tersebut dan mempopulerkannya dengan nama “Demokrasi“. Demokrasi memang sering indah diucapkan, tetapi kecut dirasakan. Banyak orang tertipu karena tidak memahami hakekat demokrasi yang sebenarnya. Secara konsep, rakyat memiliki wewenang dalam mengatur urusan pemerintahan (kedaulatan rakyat). Rakyatlah penentu kebijakan bagi diri mereka sendiri. Rakyat bebas berbicara, mengkritik, dan berekspresi. Namun, konsep ini hanya ada pada saat kelahiraanya, yakni pada abad ke-6 SM. Fakta justru menunjukan bahwa yang sesungguhnya berdaulat adalah para elit politik dan para pemilik modal. Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, berdasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai modal demokrasi pun dicoba. Mulai dari demokrasi terpimpin ala Soekarno, demokrasi Pancasila ala Soeharto, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah demokrasi selain hanya pesta demokrasi.  Begitulah sejatinya hakekat demokrasi tak ubahnya  racun berbalut madu. Kendati demikian patut diungkap juga bahwa demokrasi sebagai satu system tetap memiliki nilai baiknya. Benar bahwa ada penyimpangan pelaku system, namun dipercaya bahwa ini sebanrnya bagus untuk satu Negara dan kelompok. Lantas bagaimana pandangan Gereja tentang demokrasi?

2. Praktek Demokrasi dalam Gereja
            Beberapa babakan perkembangan demokrasi bisa diruntut dari beberapa hal:

2.1. Abad Pertengahan[2]

Setelah melewati masa-masa suram, gereja pada suatu ketika bertemu dengan seorang kaisar yang bernama Constantinus. Constantinus sangat berjasa dalam proses sosialisasi gereja katolik di dalam wilayah kerajaan Romawi. Constantinuslah yang berani mengakui bahwa peradaban kafir telah menjadi mandul keadaannya.  Maka gereja pun dibebebaskannya untuk diambil manfaatnya guna membina kembali kesatuan politik. Dengan demikian gereja mulai menancapkan benderanya di kekeisaran kafir itu. Dalam perkembangannya gereja mulai meluas ke semua daerah kekaisaran. Konsekuensinya, semua Eropa dan Asia Timur menjadi Kristen. Gereja yang semula disegani, sebab begitu toleran, solider dan memperhatikan kesejahteraan umum, ternyata berubah wajahnya menjadi sebuah gereja yang teokrasi feodal, di mana bidang keagamaan dan politik bercampuraduk sehingga urusan politik diserap ke dalam urusan-urusan keagamaan. Dengan demikian, menurut sistem ini paus sebagai kepala dan pusat segala-galanya dan praktek ini semakin hari semakin bertambah besar pengaruhnya. Kebijakan ini muncul sejak Gregorius VII. Tindakan dan kebijakan seperti  ini dilanjutkan oleh para Paus pengantinya. Namun diantara mereka yang paling terkenal adalah Innocentius III. Ia merasa dirinya  sebagai seorang penguasa dunia sepenuhnya. Sebagai contoh, perseteruannya dengan raja John dari Inggris. Terhadap John, Paus menggunakan cara mengucilkan, memecat dan dengan mengancamannya dengan armada raja Philipd dari Prancis. Dalam situasi yang demikian John pun akhirnya menyerah dan merelakan dirinya hanya menjadi pejabat biasa dalam kerajaannya. Sistem pemerintahan yang dipakai di dalam gereja kalah itu adalah teokrasi, dengan semboyan terkenalnya “Tuhan Allah Menghendakinya”. Akan tetapi siapakah yang berhak menafsirkan kehendak Allah itu? Gereja dan di dalam gereja Pauslah yang menjadi kepala hirarki. Sebagai wakil Kristus, Paus memimpin dan menghukum dunia. Lapangan duniawi tunduk pada lapangan rohani. Dengan sistem itu pula, gereja telah memerangi kerajaan-kerajaan sekular dan menjadikannya bawahan dalam gereja. Konsekuensinya gereja campur tangan dalam segala urusan pribadi kerajaan-kerajaan tersebut, sambil memaksa kebijakan yang diputuskan oleh Paus di Roma untuk harus ditaati. Bahkan kelak dalam perjalanan sejarah diketahui bahwa terjadi semacam kolusi gereja dan negara, misalnya dalam pengangkatan raja-raja perlu peneguhan dari Paus dan demikian halnya dengan pengangkatan atau penobatan Paus. Tidak ada lagi jarak antara kekuasan gereja dan negara. Mungkin tidak berlebihan bila kita menyimpulkan bahwa pada masa Abad Pertengahan gereja telah kehilangan kewibawaannya yang sejati. Atas cara demikian bisa dikatakan juga bahwa sistem demokrasi pada masa Abad Pertengahan mati total. Demokrasi dalam konteks intern sendiri pun tidak jalan dan demikian juga dengan relasi eksternnya. Sekali lagi tidak berlebihan bila kita katakan demikian.
2.2. Zaman Renaissance
Di akhir Abad Pertengahan muncullah apa yang dikenal sebagai Renaissance dan Humanisme. Renaissance dan Humanisme berangkat dari komitmen dasar yaitu untuk mengembalikan manusia – Eropa – pada semangat dan cara hidup kejayaan Romawi-Helenis dulu tanpa embel-embel kristianitas. Di sini hendak digambarkan sedikit situasi zaman itu. Manusia abad 13-14 senantiasa mempercayakan seluruh kehidupan kebudayaan, keagamaan serta pilitik-sosialnya tanpa reserve kepada pimpinan Gereja. Sebaliknya manusia abad 16 memberikan kepercayaannya kepada penguasa-penguasa lain di samping Gereja atau bahkan penguasa yang melawan Gereja. Mereka memberikan kepercayaan kepada injil akan tetapi melepaskan injil dari kekuasaan ajaran gereja, mempercayakan diri kepada penguasa di kerajaannya sendiri; selain itu mereka lebih-lebih mempercayakan diri kepada keputusan-keputusan, selera dan aturannya sendiri, serta kebenaran yang diperoleh dari akal budinya sendiri. Itulah situasi masyarakat pada masa kehancuran Abad Pertengahan dan memasuki era Renaissance. Pada masa ini ada satu pengalaman yang sangat menarik untuk disimak secara saksama seputar prinsip sistem negara Toekrasi dan demokrasi ini. Kurang lebih tahun 1300 timbullah pertentangan antara Paus Bonifasius VIII dan Raja Philips dari perancis. Isi pertentangan kedua orang ini adalah manakah batas yang jelas antara dua kekuasaan yang ada selama ini. Hal ini diakibatkan oleh perpaduan Gereja dan negara tanpa batasan yang jelas dan transparan. Raja Philips mempertanyakan hal itu, maka murkalah Paus. Ia menjatuhkan hukuman ekskomunikasi kepadanya. Murka paus ini juga bisa dimengerti kerana raja sekarang sudah mendapatkan dukungan yang kuat dari para warganya dengan memberi uang, derma, dsb. Tindakan ini hendak mengarah pada sebuah usaha nasionalisme masyarakat Prancis kala itu. Mungkin bisa kita simpulkan bahwa pada masa Renaissance dan Humanisme manusia mulai kembali pada dirinya sendiri atau kuasa lain di luar dirinya, asalkan bukan dalam institusi gereja. Untuk itu, mereka mempercayakan dan bahkan mulai memisahkan diri dari otoritas gereja. Gerja yang tidak demokratis itu mulai dilawan oleh mereka.

2.3. Zaman Modern

Zaman ini sering dikenal juga dengan nama Aufklarung atau “pencerahan akal budi”. Pada era ini segala sesuatu dipulangkan pada daya kerja rasio manusia sebagai pusat segala-galanya. Semua pengetahuan spekulatif ditinggalkan bahkan ditolak, diganti dengan metode penyelidikan ilmiah yang membawa hasil sangat menakjubkan manusia. Ibarat membuang macis bernyala di dalam tumpukan kayu yang telah disirami minyak, gerakan pencerahan akal budi ini membawa konsekuensi yang sangat mengenaskan bagi Gereja Katolik. Terjadi perampasan harta kekayaan Gereja oleh pemerintah, pembubaran dan pembakaran biara-biara, pembunuhan para hirarki, pengasingan para hirarki, pembubaran ordo dan tarekat-tarekat religius oleh pemerintah, dll. Salah satu bentuk kekerasan yang  dikenal yakni pecahnya revolusi Perancis pada  tahun 1789. Revolusi ini menimbulkan suatu pemutarbalikan di Eropa Barat. Revolusi ini menyusun sebuah bentuk pemerintahan berdasarkan hukum untuk menggantikan absolutisme yang dipraktekkan Gereja Katolik selama itu. Dalam revolusi itu juga muncul semboyan yang terkenal, yaitu Egalite,Fraternite dan Liberte. Semua ini atas salah satu cara menentang sistem pemerintahan dalam gereja yang begitu kental dengan teokrasi-feodal dan absolutisme. Menurut manusia zaman modern tindakan seperti sangat tidak demokratis. Tambahan pula bahwa zaman pencerahan dan revolusi Perancis mengakibatkan juga revolusi industri. Alam mulai digarap dan tenaga manusia mulai dieksploitasi besar-besaran, dan gereja mulai mendapatkan kembali posisinya yang benar dan tepat. Maka sejak tahun 1878, Gereja Katolik mulai menunjukkan perhatiannya yang mendalam dan besar bagi kehidupan bersama untuk mencapai bonum communae. Hal ini tampak dalam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Paus dan para uskup, imam, biarawan-biarawati dan umat awam sejak saat itu sampai hari ini. Namun, sebuah sikap dan penegasan yang sagat penting tentang peran serta atau keikutsertaan dalam politik dan kemasyarakatan diungkapkan dalam ensiklik Pacem in Terris dan kemudian ditindaklanjuti dan disempurnakan dalam konstitusi dogmatis Gaudium et Spes.

2.4.  Penegasan Sikap Gereja atas Demokrasi

2.4.1. Ensiklik Pacem in Terris

Ensiklik ditulis dan diterbitkan oleh Paus Yohanes XXIII pada tahun 1963. Ensiklik ini lebih bersifat politis dan memiliki jangkauan luas dan universal. Ensiklik ini secara khusus dan istimewa berbicara tentang HAM, sebagai bentuk atau bagian dari sistem demokrasi. Dalam Pacem in Terris, Yohanes XXIII mengatakan “oleh karena itu semua ajaran di atas sesuai dengan pola pemerintahan manapun yang bersifat sungguh demokratis” (PT 50). Dalam arti itu, ajaran Paus tentang HAM dan segala sesuatu tentang eksistensi manusia pada bagian-bagian pertama ensiklik ini merupakan juga bagian dari sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Selain itu, bentuk atau struktur negara yang sangat dianjurkannya adalah yang demokratis. Paus mengatakan bahwa “sekali lagi kami anjurkan kepada putra-putri kami, supaya berpartisipasi aktif dalam kehidupan umum dan bekerja sama demi kepentingan segenap umat manusia”(146). Namun bagaimanakah caranya orang katolik harus berpartisipasi secara demokratis? Paus mengatakan bahwa pertama, “mereka perlu melibatkan diri dalam karya lembaga-lembaga dan mempengaruhinya dari dalam” (147). Kedua, setiap orang perlu mengembangkan kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya agar dapat tampil dalam kehidupan umum secara proporsional (bdk. 148), dan ketiga, semua tindakan partisipatoris orang katolik itu “harus didasarkan pada kebenaran, diatur oleh keadilan, didorong oleh cinta kasih terhadap sesama dan berpegang teguh pada kebebasan (149). Demikian Yohanes XXIII, mulai membawa umat Katolik kepada suatu bentuk hidup yang tidak saja bersifat teoretis melainkan lebih daripada itu, yakni praksis sosial-politik.
2.4.2. Konstitusi Dogmatik Gaudium et Spes
Pertama-tama harus diketahui bahwa Yohanes XXIII-lah yang memanggil konsili untuk  berkumpul. Itulah yang kita kenal sebagai Konsili Vatikan II (1962-1965). Dengan konsili ini Beliulah telah membantu gereja Katolik untuk terbuka terhadap perkembangan zaman dan kehidupan manusia. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh konsili suci ini adalah Konstitusi dogmatik Gaudium et Spes. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1). Di sini Konsili Suci menyatakan secara mendalam kerinduannya serta keprihatinannya yang mendalam tentang situasi umat manusia. Situasi umat manusia yang demikian ini menjadi juga lahan perjuangan Gereja untuk menanamkan semangat praktek demokrasi yang sejati. Selain itu Konsili Suci juga mengatakan bahwa: “Dengan mewartakan kebenaran injil, dan dengan menyinari bidang kegiatan manusiawi melalui ajarannya dan melalui kesaksian kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganya”(GS 76). Dengan pernyatan ini gereja menunjukkan secara tegas posisinya dalam melaksanakan praktek demokrasi atau etos politiknya secara universal. Dengan ajaran iman dan moral serta kesaksian hidup gereja menyatakan sikapnya atas nilai-nilai  demokrasi yang diperjuangkan semua orang di mana-mana.
2.4.3. Demokrasi menurut Centesimus Annus
            Centesimus Annus adalah ensiklik yang ditetapkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1 Mei 1991 untuk memperingati seratus tahun Rerum Novarum, ensiklik pertama tentang  masalah sosial yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891.  Ensiklik Centesimus Annus ini sangat penting bagi  gereja dewasa ini karena isinya sangat aktual: (1) Ia memberikan fokus aktual pada ajaran sosial para Paus sampai sekarang. (2) Ia membantu dalam mencari orientasi dalam situasi dunia pada akhir abad ke-20 yang ditandai oleh keambrukan sistem komunisme dunia, krisis makna masyarakat Barat dan krisis kemiskinan yang semakin tajam, terutama di negara-negara berkembang. (3) Ia mempertegas sikap-sikap yang seharusnya diambil oleh umat katolik terhadap masalah-masalah sosial dewasa ini; secara khusus Centesimus Annus mendukung segi-segi pokok perjuangan melawan ketidakadilan. Ensiklik Centesimus Annus merupakan salah satu pembelaan paling kuat dan eksplisit demokrasi dan hak asasi manusia. Pandangan Paus tentang demokrasi di dalam ensiklik ini mengembangkan dengan lebih eksplisit apa yang sudah disinggung dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan  masalah sosial). Di dalam ensiklik Centesimus Annus, khusus nomor 46 dan 47 bicara tentang demokrasi. Dapat dikatakan bahwa dengan demikian sebuah keragu-raguan yang lama sekali meliputi sikap Pimpinan Gereja Katolik terhadap demokrasi akhirnya dijernihkan: Dalam dunia modern refleksi iman atas martabat manusia menuntut dukungan penuh terhadap pola kenegaraan demokratis. Di dalam ensiklik Centesimus Annus ditemukan penilaian jelas dan eksplisit tentang demokrasi: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat untuk memilih pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka, dan bila itu memang sudah selayaknya menggantikan mereka melalui cara-cara damai“.[3] Berkaitan dengan penilaian ini, gereja dengan jelas menolak pengangkatan pemimpinan yang tidak demokratis dan mencela penyalahgunaan kekuasaan politik untuk mencari keuntungan diri. Selanjutnya gereja berpendapat: „Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam negara hukum, dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebab demokrasi menuntut dipenuhinya syarat-syarat yang sungguh perlu untuk mengembangkan warga negara perorangan, melalui pendidikan dan pembinaan dalam menerapkan prinsip-prinsip yang sejati, dan untuk meningkatkan peran serta masyarakat yang semakin sadar melalui struktur-struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama“. [4] Di dalam ensiklik ini paus Yohanes Paulus II menempatkan martabat manusia yaitu persona sebagai dasar dan tujuan dari politik. Itu berarti, sebuah demokrasi yang otentik bukanlah sekedar hasil pelaksanaan formal sebuah aturan, melainkan buah dari pengakuan dan keyakinan akan nilai-nilai yang menjadi sumber ilham prosedur demokrasi. Jadi, martabat pribadi manusia sebagai tujuan dan kriterium dari kehidupan politik. Bahaya terbesar bagi demokrasi modern, menurut gereja, adalah relativisme etis yang manyangkal adanya kriteria objektif dan universal tentang nilai guna menjamin stabilitas hierarki nilai tersebut dan landasannya. „…bila tidak ada kebenaran yang paling asasi, yang mengarahkan dan mengatur kehidupan politik, maka di situ ide-ide dan keyakinan-keyakinan dengan mudah dimanipulasi sebagai upaya untuk merebut kekuasaan. Akhirnya, seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi tanpa prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan atau terselubung“.[5] Pada hakikatnya demokrasi itu adalah suatu sistem dan sebagai sistem ia hanyalah sarana, bukan tujuan. Karena itu, nilai moralnya tidak otomatis, melainkan tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum moral yang berlaku bagi manusia, dan dalam hal ini, adalah hukum moral yang berlaku dalam gereja. Partai politik adalah bagian tak terpisah dari demokrasi. Menurut gereja, parpol memiliki tugas untuk menunjang keterlibatan luas dalam tanggung jawab publik. Partai politik dituntut untuk menemukan apa sebenarnya keinginan masyarakat dan menegerahkan keinginan itu kepada kesejahteraan umum[6] dan membuka kemungkinan yang efektif kepada warga masyarakat untuk memberi sumbangan atau berpatisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Untuk itu, menurut gereja, partai politik harus bersifat demokratis. Hanya dengan semangat demokratis, segala pertentangan dan kontradiksi politis yang terjadi di dalam tubuh partai politik, dapat diatasi cara yang memadai dan akhirnya partai politik bisa berkembang dan mampu membuat perencanaan ke depan dengan lebih baik bagi dirinya maupun bagi pembangunan masyarakat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana praktek demokrasi yang real dalam Gereja?
3. Demokrasi dalam Umat Katolik Paroki Kristus Raja[7] Tolitoli
            Dari uraian di atas paling tidak beberapa penegasan bisa diangkat. Pertama itulah bahwa Gereja menganjurkan supaya para pemimpin itu harus dipilih secara demokratis, kedua, penekanan pada penghargaan HAM dalam berdemokrasi, ketiga adalah sifat-sifat demokrasi, seperti kebebasan untuk berbicara, keterwakilan, musyawara, dan keempat itulah bahwa demokrasi hanya sebagai sarana untuk tujuan bersama, yaitu bonum commune. Nilai-nilai demokratis inilah yang coba penulis angkat sebagai bahan refleksi untuk melihat lagi pengalaman pastoral dalam hal management kepemimpinan kristiani. Konteksnya adalah   umat dan masyarakat di paroki Kristus Raja Tolitoli. Hal tersebut mewujud dalam beberapa hal:

3.1. Pastor paroki sebagai penentu kebijakan final
            Pastor paroki menunjuk pada seorang pemimpin umat dengan otoritas yang didapat lewat delegasi uskup. Itu berarti bahwa adanya pastor paroki sebenarnya bukan karena praktek demokratis pemilihan seorang pemimpin, melainkan lebih top-down. Dari atas ke bawa. Semua itu untuk tugas penggembalaan, yaitu menghantar umat pada kebenaran. Akan tetapi dengan delegasi langsung dari uskup bukan berarti bahwa pastor paroki tidak demokratis. Umat pasti tidak senang melihat tindakan para imam yang suka bekerja sendiri dengan kebijakan-kebijakan pribadi tanpa keterlibatan umat. Karena itu ketika pastor mengeluarkan satu kebijakan pastoral, semua itu pasti disosialisaikan kepada umat. Itu nyata di paroki Kristus Raja Toli-toli. Ini tidak berarti bahwa otoritas seorang imam menurun. Dengan sosialisasi kebijakan justru akan memudahkan jalannya roda pemerintahan di tengah umat. Imam dalam hal ini tetap menjadi penentu kebijakan, namun dengan memperhatikan serta mempertimbangkan masukkan dan aspirasi umat. Ini tentu saja lebih dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pastoral local dalam pengertian imam sebagai ordinaris wilaya. Hal ini tidak termasuk ajaran-ajaran iman dan tradisi Gereja yang tak bisa diganggu-gugat. Adanya pemimpin umat menjadi pertanda bahwa iklim demokrasi itu ada. Yang ditekankan tentu saja adalah demokrasi sebagai sarana untuk mencapai kebaikan bersama sehingga pemimpin umat dalam hal ini pastor paroki memang mempraktekkan hal tersebut. Ada saatnya memang ketika pastor paroki terlihat dictator-otoriter. Namun semuanya pasti untuk kebaikan umat. Makanya sering ada komentar umat: “Pastor kok otoriter dan tidak mau mendengarkan umat?” Satu pertanyaan yang kurang lebih menandakan bahwa jiwa demokratis memang harus ada pada seorang pemimpin yang hidup dan menjadi gembala di tengah Negara yang demokratis. Itu juga yang dilakukan petugas pastoral di tengah umat. Segala kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak perlu dimengerti dan diketahui umat, dan semuanya tentu saja membutuhkan penilaian serta masukkan jemaat yang ada. Di atas disebutkan bahwa demokrasi itu begitu dekat dengan politik. Hal tersebut memang terungkap dalam sepak terjang kepemimpinan umat di paroki ini. Imam memang tidak bisa berpolitik praktis, tetapi ia bisa menyuarakan suara-suara politis lewat mimbar gereja. Hal ini terungkap pula dalam pertemuan kemasyarakatan. Petugas pastoral misalnya perna mengikuti dialog kebangsaan yang membahas tentang nasionalisme, atau juga menjadi pembanding dalam pembentukan GAMKI. Cirri kepemimpinan kristiani terlihat begitu jelas ketika pemimpin umatnya berbicara tentang problematika masyarakat dan usaha politis untuk menangani permasalahan.
3.2. Keterwakilan umat dalam dewan pastoral paroki
            Keterwakilan umat dalam dewan paroki menjadi petunjuk bahwa ada kepemimpinan yang cukup mumpuni dalam rangka pengembangan umat di paroki ini. Ini sekaligus menandai kekompakkan kerja umat dalam pemeliharaan jiwa-jiwa. Terdapat orang-orang kunci yang mendapatkan kepercayaan untuk duduk bersama dalam dewan inti paroki. Orang-orang ini dianggap memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengkordinir dan memajukan umat. Mereka dibagi dan dipercayakan untuk menangani beberapa bidang kerja tertentu, seperti social, liturgis, kepemudaan, yayasan, kaum bapak, anak-anak, dan juga kaum ibu. Dalam arti itu bisa dilihat bahwa terdapatlah alokasi kekuasaan yang didapatkan lewat mandat dan kepercayaan dari umat serta imam sebagai peneguh. Keberadaan dewan paroki ini sangat penting untuk menunjung kinerja pastor paroki sebagai ordinaries wilaya dan gembala yang baik bagi keseluruhan umat. Ini juga menunjuk pada fakta demokrasi dalam mana keterwakilan menjadi elemen penting untuk kemajuan umat dan masyarakat. Bahwa ada anggota dewan yang merupakan hasil pemilihan umat, kepada mereka juga umat bisa menyampaikan aspirasi yang kemudian diangkat bersama dalam musyawara dewan.
3.3. Pengambilan kebijakan bersama lewat rapat dan pertemuan-pertemuan
            Setiap semester biasanya dibuat program kerja. Program kerja ini disusun lewat pertemuan bersama. Pertemuan ini tentu saja penting karena dari situlah ide-ide pengembangan umat mencuat. Di sini iklim demokrasi mengemuka ketika kebebasan berbicara ada dan penghargaan terhadap setiap orang juga dikedepankan. Itu berarti bahwa kebijakan tidak saja ditentukan oleh orang-orang tertentu, melainkan melibatkan semua umat yang ada. Satu hal yang penting itulah bahwa umat merasa dihargai dan didengarkan. Seperti itu tepatlah amanat para bapa gereja bahwa demokrasi itu memang harus mengedepankan manusia dan penghargaan terhadap kemanusiaannya. Dalam kaitan dengan pengambilan kebijakan ini bole disebut pula bahwa mereka yang menjadi wakil umat dalam dewan paroki masuk dalam kalangan orang-orang terdepan untuk bersuara menyampaikan ide-ide pengembangan umat. Berhadapan dengan berbagai ide yang dikeluarkan, maka pemimpin umat pantas pula memiliki sikap yang bijak. Hal ini penting untuk menentukan masa depan dan memberi orientasi yang jelas pada kebijakan yang diambil. Pengalaman selama masa pastoral memberi petunjuk bahwa kebijakan yang dihasilkan secara bersama akan sangat efektif dibandingkan kebijakan pribadi untuk umat.
3.4. Umat Basis
            Umat katolik Paroki Kristus Raja Toli-toli terbagi atas pusat paroki dan tiga stasi lainnya. Secara lebih khusus lagi umat dibagi dalam wilaya-wilaya tertentu yang berbentuk territorial, tapi sekaligus telah menjadi kelompok umat basis. Dari basis-basis inilah keluar banyak kebijakan untuk pengembangan paroki. Dalam hidup konkrit umat basis terungkaplah bahwa kepemimpinan sebetulnya mengemuka di sini. Ada ketua wilaya dan perangkat kerjanya. Ada juga umat biasa yang selalu menegemukakan ide-ide yang brilian. Ketua wilaya biasanya dipili lewat rapat dan pemilihan. Yang dipilih tentu saja adalah orang-orang yang dianggap mampu untuk itu, yaitu yang memiliki tanggung-jawab dan pengabdian bagi Gereja. Umat basis ini menyeruapi “grass root” dalam arti demokrasi. Ada umat yang nyata, dan kepemimpinan memang harus menyentuh mereka. Alasan itulah yang membuat petugas pastoral juga turut meleburkan diri dalam umat real ini. Hadir bersama mereka dalam segala situasi hidup mereka. Kadang harus pergi ke hutan untuk mengerti bahwa kehidupan mereka memang seperti itu. Inilah tugas seorang pemimpin, yaitu hadir bersama umat dalam konteks hidup mereka yang paling konkrit. Dari situ pemimpin bisa mengerti dan mengambil kebijakan yang efektif dan efisien, dan juga tidak terjadi apa yang disebut umat marginal. Semua perlu perlakuan yang sama, dan itu terungkap lewat kehadiran nyata. Kedekatan pemimpin dengan umat dalam konteks paling kecil, yaitu basis merupakan pula rangsangan penentuan kebijakan yang “buttom-up”, yaitu memberikan peluang dan merangsang semua umat untuk menentukan kebijakan dari konteks nyata hidup mereka.
3.5. Sepak Terjang orang Katolik dalam konteks masyarakat
            Demokrasi yang paling nyata adalah masyarakat. Umat Katolik bukanlah orang yang terasing dari masyarakat dan Negara, melainkan merupakan satu kesatuan yang potensial juga dalam konteks masyarakat. Bole disebut bahwa dalam konteks Tolitoli umat katolik memang minoritas namun memiliki kualitas. Adanya figure-figur orang Katolik dalam bidang pemerintahan merupakan pertanda bahwa nilai kekatolikan juga tertanam dalam masyarakat. Penegasan di atas mendapakan maknanya: Mereka perlu melibatkan diri dalam karya lembaga-lembaga dan mempengaruhinya dari dalam”. Bahasa lainnya itulah bahwa orang menjadi garam dan terang dunia. Hal ini nampak pula dalam kehidupan umat di paroki ini. Banyak orang yang mengabdikan dirinya untuk kehidupan masyarakat. Mereka umumnya bisa menunjukkan diri sebagai orang Katolik sejati dan membuktikan bahwa kualitas diri orang Katolik juga pantas diandalkan. Semua itu paling tidak membuktikan bahwa sepak terjang orang Katolik dalam hal politik dan demokrasi cukup signifikan. Paling tidak mereka itu mendapatkan kepercayaan dan bertanggung-jawab dalam tugas pengabdian kepada masyarakat. Contoh keberadaan mereka paling nyata terlihat dalam subsidi pemerintah bagi Gereja dan Sekolah yang terungkap lewat bangunan sekolah yang megah dan representatif. Semua itu tak lepas dari kemampuan berdiplomasi para tokoh Katolik di kabupaten ini.

Penutup
            Dengan melihat hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa demokrasi sebenarnya sangat baik dipraktekan dalam gereja. Ini tentu saja perlu pembedaan dengan demokrasi dalam arti duniawi, melainkan diberikan sentuhan rohani. Dalam arti itu boleh disebut bahwa pengembangan umat di paroki Kristus Raja Tolitoli sebetulnya terlaksana dengan demokrasi sebagai satu sarana yang bagus dalam hal kepemimpinan. Itu sekaligus merupakan pemenuhan amanat otoritas gerejani yang melihat cara pemerintahan dunia sebagai sarana yang bisa diangkat untuk peningkatan dan pemberdayaan umat. Kuncinya adalah demokrasi menjadi sarana untuk kepentingan banyak orang, dan bukannya menjadi tujuan.
            Berhadapan dengan demokrasi dalam gereja ini, maka petugas pastoral juga memiliki kebanggaan karena boleh menjadi bagian dalam penciptaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang demokratis di paroki ini. Ini juga memberi bukti bahwa jiwa dan semangat demokrasi ada dalam diri petugas pastoral. Karena itu baik pula kalau demokrasi sebagai sarana pengambilan kebijakan menjadi model pengembangan yang terus digunakan untuk lebih membuat Gereja menjadi satu lembaga yang solid.


[1] Tolitoli terletak antara 0,35o - 1,20o L i n t a n g U t a r a/ North latitude dan 120,12o - 121010'42"B u j u r T i m u r/ East longitude. Luas wilayanya adalah 4.079,77. Tolitoli sebagai kabupaten terdiri atas sembilan kecamatan, yaitu Dampal Selatan, Dampal Utara, Dondo, Ogodeide, Basidondo, Baolan, Lampasio, Galang, Tolitoli Utara. Sementara dalam hal iklim, Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh dua musim secara secara tetap yaitu musim Barat yang basah dan musim Utara yang kering. Angin barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini kabupaten Tolitoli ditandai dengan musim penghujan. Sedang angin utara bertiup antara bulan April sampai bulan September, pada periode ini kabupaten Tolitoli terjadi musim kemarau. Dalam hal pemerintahan, Kabupaten Buol-Tolitoli berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tanggal 30 Oktober 1959 ditetapkan sebagai salah satu daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, dan setelah dipisahkan dengan Kabupaten Buol kini mempunyai wilayah yang terdiri dari 9 kecamatan dan terdiri dari 5 kelurahan dan 78 daerah pedesaan. Daerah-daerah inilah yang ditempati oleh penduduk yang menurut hasil Sensus Penduduk 2000 tercatat penduduk Kabupaten Tolitoli sebesar 173.525 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 88.474 jiwa dan penduduk perempuan 85.051 jiwa. Dari jumlah tersebut di atas penduduk yang punya tempat tinggal tetap berjumlah 173.270 jiwa dan penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap berjumlah 255 orang.

[2]Lih.  Paul Kalkoy, dkk, PRAKTEK DEMOKRASI DALAM GEREJA KATOLIK DAN DALAM KELOMPOK UMAT BASIS.


[3] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus 46.
[4] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus 46.
[5] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus 46.
[6] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes 75.
[7] Umat Katolik di paroki ini terdiri atas 264 kk. Mereka tersebar di pusat paroki, yaitu di kecamatan Baolan, juga di stasi-stasi, yaitu Pagaitan, Kayulompa, dan Laulalang. Kebanyakan umat berasal dari Manado, menyusul kemudian Flores, Toraja, dan masyarakat Cina yang sudah lama menetap di Tolitoli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar