Jumat, 10 September 2010

St. Benediktus

BENEDIKTIN
Fr. Lucky Singal
            Ada ungkapan bahwa harus ada kesesuaian antara hidup lahiria dan hidup rohani. Orang kadang-kadang berpikir bahwa hal rohani adalah kebutuhan sekunder saja. Asalkan kebutuhan jesmania sudah terpenuhi, maka kebahagiaan pasti tercapai. Ini boleh disebut sebagai kekeliruan pandangan terhadap kehidupan. Satu hal yang pasti itulah bahwa hidup rohani perlu pengembangan karena jaminan kebahagiaan sebetulnya bersumber dari daya-daya rohani untuk membuka hati kepada Tuhan dan ciptaan-Nya. Namun orang pasti kesulitan mengembangkan dan lebih memantapkan kehidupan rohani jika sarana untuk itu tidak ada. Karena itu berikut coba disajikan bagaimana sebenarnya hidup rohani yang baik dan cara merainya dengan berusaha mendekati Tuhan dan sesama lewat pengalaman St. Benediktus dan Ordo Benediktin.
1. Biografi
Santo Benediktus dari Nursia (lahir di Nursia, Italia ± 480 - wafat ± 547) adalah seorang pendiri komunitas monastik Kristen dan penyusun peraturan bagi biarawan yang hidup dalam komunitas. Tujuannya tersurat dalam peraturan yang disusunnya, yakni "semoga Kristus … menuntun kita sekalian ke dalam Kehidupan Kekal" (Peraturan Santo Benediktus 72.12). Gereja Katolik Roma mengkanonisasikannya pada tahun 1220. Pencapaian utama Benediktus adalah sebuah "Peraturan" berisi petunjuk-petunjuk bagi para biarawan yang dipimpinnya, yang disebut pula Peraturan Santo Benediktus.
Satu-satunya catatan kuno mengenai Benediktus terdapat dalam jilid kedua dari keempat kitab Dialog karya Santo Gregorius, yang ditulis pada tahun 593. Kitab kedua terdiri atas sebuah prolog dan tiga puluh delapan bab pendek. Sejarahwan Romawi abad ke-19 Thomas Hodgkin memuji riwayat St. Benediktus karya Gregorius sebagai “biografi rahib terbesar, yang ditulis oleh Paus terbesar, yang juga seorang rahib.”  Meskipun demikian, riwayat Benediktus karya Gregorius ini bukanlah sebuah biografi dalam arti modern. Tulisan tersebut justru berisi sebuah potret rohani dari abbas yang lembut namun berdisiplin. Dalam sepucuk suratnya kepada Uskup Maximilianus dari Sirakusa, Gregorius menyatakan maksudnya sehubungan dengan tulisannya dalam Dialog itu. Menurutnya, tulisannya itu adalah sejenis floretum (suatu antologi, secara harafiah, ‘bunga rampai’) mukjizat-mukjizat paling mengesankan dari Benediktus. Di kemudian hari, Benediktus menjadi pemimpin dari banyak rahib yang baik. Ia mendirikan dua belas biara. Kemudian ia pergi ke Monte Kasino di mana ia mendirikan biaranya yang paling terkenal. Di sanalah St. Benediktus menuliskan peraturan-peraturan Ordo Benediktin yang mengagumkan. Ia mengajar para rahibnya untuk berdoa dan bekerja dengan tekun. Terutama sekali, ia mengajarkan mereka untuk senantiasa rendah hati. Benediktus dan para rahibnya banyak menolong masyarakat sekitar pada masa itu. Mereka mengajari orang banyak itu membaca dan menulis, bercocok tanam dan aneka macam ketrampilan dalam berbagai lapangan pekerjaan. Ia wafat pada tanggal 21 Maret tahun 547. Pada tahun 1966, Paus Paulus VI menyatakan St. Benediktus sebagai santo pelindung Eropa. Pada tahun 1980, Paus Yohanes Paulus II menambahkan St. Sirilus dan St. Metodius sebagai santo pelindung Eropa bersama dengan St. Benediktus.
2. Peraturan St. Benediktus
 “Seekor anak domba dapat mandi tanpa tenggelam, dan seekor gajah dapat berenang di dalamnya”; pepatah kuno ini adalah kiasan bagi sebuah karya tulis sepanjang hanya 73 bab pendek. Ada dua macam kearifan yang terkandung dalam peraturan ini: spiritual (bagaimana menjalani hidup yang Kristosentris di bumi) dan administratif (bagaimana mengelola sebuah biara secara efisien). Lebih dari setengah bab di dalamnya memaparkan cara-cara untuk menjadi taat dan rendah hati, serta apa yang harus dilakukan bilamana salah seorang anggota komunitas tidak taat dan rendah hati. Sekitar seperempat bagiannya mengatur peribadatan. Sepersepuluh bagiannya menjelaskan bagaimana, dan oleh siapa biara harus dikelola. Sisanya secara khusus membahas kewajiban-kewajiban pastoral dari abbas. Peraturan Santo Benediktus atau Regula Benedicti dalam Bahasa Latin adalah sebuah kitab dari abad ke-6 yang berisi peraturan-peraturan tertulis bagi para rahib yang hidup bersama dalam suatu komunitas di bawah otoritas seorang abbas. Sejak sekitar abad ke-7 kitab ini diadopsi oleh komunitas-komunitas biarawati. Selama 1500 tahun eksistensinya, kitab ini menjadi sumber petunjuk utama dalam Kekristenan Barat bagi kaum monastik yang hidup bersama dalam satu komunitas, dalam Ortodoksi, Katolisisme, serta (sejak masa Reformasi) dalam tradisi Anglikan dan Protestan. Semangat Peraturan Santo Benediktus tersimpul dalam moto Konfederasi Benediktin: pax ("perdamaian"), dan ora et labora ("berdoa dan berkarya").  Regula Benedicti ini telah diterapkan oleh ordo Benediktin selama 15 abad, dan oleh karena itu St. Benediktus kerap disanjung sebagai pendiri monastisisme Barat. Sekalipun demikian, tidak ada bukti yang mendukung anggapan bahwa Benediktus bermaksud mendirikan suatu ordo. Pada akhir abad pertengahan barulah muncul sebutan "Ordo St. Benediktus". Kitab peraturannya ditulis sebagai suatu tuntunan bagi komunitas-komunitas yang otonom dan individual. Keuntungan-keuntungan dari dipertahankannya penekanan unik Benediktin pada otonomi ini meliputi terbudidayakannya model-model komunitas-komunitas yang saling berkaitan erat, dan gaya-gaya hidup kontemplatif. Kerugian-kerugiannya mencakup keterisolasian geografis dari proyek-proyek penting dalam komunitas-komunitas di sekelilingnya atas nama penafsiran harafiah akan otonomi. Kerugian lainnya adalah inefisiensi dan kurangnya mobilitas dalam pelayanan terhadap sesama, serta tidak cukupnya pendekatan bagi anggota-anggota potensial yang merasa terpanggil untuk melaksanaan pelayanan tersebut. Asal usul peraturan ini adalah Monastisisme Kristiani yang awalnya muncul di Kekaisaran Romawi Timur beberapa generasi sebelum Benediktus dari Nursia, di gurun Mesir. Berkat inspirasi rohani dari Santo Antonius Agung (251-356), para rahib asketis dibimbing Santo Pakhomius (286-346) membentuk komunitas-komunitas monastik Kristiani perdana di bawah pimpinan tokoh yang disapa Abba (kata dalam bahasa Aram yang artinya "Ayah", sumber dari istilah Abbas). Santo Basil dari Kaesarea mengkodifikasikan sila-sila bagi biara-biara Timur itu dalam Peraturan Bermatiraga, atau Ascetica, yang sampai sekarang masih dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Timur. Dalam bab 73 St. Benediktus jelas-jelas memuji peraturan St. Basil dan merujuk pada sumber-sumber lain. Kemungkinan besar dia tahu akan peraturan yang disusun oleh (atau yang diyakini disusun oleh) Pakhomius; dan peraturannya juga memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari peraturan-peraturan Augustinus dari Hippo dan Santo Yohanes Cassianus. Akan tetapi mungkin sumber utama Benediktus adalah Peraturan Sang Guru yang anonim , yang tampaknya diperberat, diperluas, direvisi dan dikoreksi secara radikal olehnya menurut pengalaman dan pemahaman pribadinya.
3. Proses Hidup Rohani menurut Banediktus
            Ada banyak ordo dan tarekat hidup bakti dalam tubuh Gereja Katolik. Mereka, para imam, biarawan dan biarawati hidup dalam kebersamaan doa dan karya. Proses hidup rohani banyak ordo dan tarekat tersebut sebetulnya berasal dari hidup Santo Benediktus. Hingga kini aturan-aturan yang dibentuknya lebih dari 15 abad lalu tetap menjadi dasar hidup ordo dan komunitas biara, bukan saja di Gereja Katolik, tetapi juga di Gereja Ortodoks dan Anglikan.  Proses hidup rohani Benediktus sebenarnya berawal dari kemuakan gaya hidup di Roma. Keadaan dunia di Roma pada saat itu penuh dengan bangsa-bangsa pemuja dewa pagan, Aria dan kehidupan mengarah ke barbarisme. Benediktus meninggalkan kota Roma dan mencari suatu tempat terasing di mana ia dapat menyendiri bersama Tuhan. Ketika itu ia berusia 20 tahun. Untuk sementara waktu, ia tinggal di desa Enfide di pegunungan sekitar 30 hingga 40 mil baratdaya kota Roma bersama sekelompok orang Kristen saleh sambil terus melanjutkan studi dan praktek askesenya. Ia kemudian meninggalkan Enfide untuk hidup menyendiri jauh dari kehidupan ramai di kota.Ternyata walaupun Benediktus telah menjauhi godaan-godaan di Roma, ia menyadari bahwa itu tidak cukup. Dalam pencarian akan kesunyian yang total, Benediktus mulai mendaki lebih jauh lagi ke antara bukit-bukit hingga akhirnya ia mencapai sebuah tempat yang disebut Subiaco, 50 mil sebelah timur kota Roma. Di tempat yang berbatu cadas ini ia bertemu dengan seorang rahib yang bernama Romanus. Kepada rahib ini Benediktus menjelaskan maksud hatinya untuk hidup sebagai seorang eremit/pertapa. Romanus sendiri tinggal di sebuah pertapaan yang tidak jauh dari situ. Ia mau membantu Benediktus, maka ia memberikan sebuah pakaian dari bulu domba dan membawanya ke sebuah gua di pegunungan. Di tempat tersembunyi inilah Benediktus hidup selama tiga tahun, tanpa diketahui oleh siapa pun kecuali Romanus yang setiap hari membawa roti baginya. Makanan itu ditaruh dalam sebuah keranjang yang diturunkan dengan tali melalui bebatuan. Orang yang pertama kali menemukan Benediktus adalah seorang pastor. Ketika itu pastor tersebut sedang mempersiapkan makan malam, tiba-tiba ia mendengar suara yang mengatakan kepadanya, “Engkau mempersiapkan bagi dirimu makanan yang enak, sedangkan hambaku Benediktus sedang kelaparan.” Pastor ini pun segera keluar dan mencari Benediktus. Tidak lama kemudian beberapa gembala menemukan Benediktus. Ketika mereka menemukannya, mereka sangat terkesan dan belajar banyak dari percakapan mereka. Mulai saat itulah ia mulai dikenal orang, banyak orang mengunjunginya, membawa makanan dan menerima petunjuk dan nasihat darinya.
Meskipun Benediktus hidup jauh dari dunia, seperti para bapa padang gurun yang lain, ia harus menemui godaan-godaan. Pada suatu saat ketika ia sendirian, sang penggoda mulai menunjukkan dirinya. Seekor burung hitam mulai terbang mengitari mukanya dan mendekat sehingga jika Benediktus mau, ia dapat menangkapnya dengan tangannya. Akan tetapi, akhirnya burung tersebut pergi dengan membuat tanda salib. Kemudian godaan hawa nafsu muncul seperti yang belum pernah ia alami sebelumnya. Si jahat membawa ke dalam imajinasinya seorang wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Si jahat membakar hatinya dengan hawa nafsu, sehingga pikirannya hampir dikuasai untuk meninggalkan pertapaannya. Akan tetapi dibantu oleh kerahiman ilahi, ia menemukan kekuatan untuk menolak godaan tersebut. Ketika ia melihat tumbuhan dan semak berduri di dekatnya, ia melemparkan dirinya ke sana dan berguling-guling sehingga tubuhya terasa sakit. Melalui luka-luka di tubuhnya, ia menyembuhkan luka-luka di jiwanya, dan tidak pernah lagi mendapat kesukaran yang sama. Di antara Tivoli dan Subiaco, terdapat sebuah tempat yang bernama Vicovaro. Di puncak bukit itu terdapat suatu komunitas rahib yang pemimpinnya baru saja meninggal. Mereka meminta Benediktus menggantikan pemimpin mereka. Pada mulanya ia menolak permintaan tersebut. Akan tetapi, karena mereka terus mendesak, akhirnya ia pun menyetujui. Namun, tidak lama kemudian mereka mulai membenci Benediktus, karena cara hidup dan disiplin yang diterapkan Benediktus terlalu keras bagi mereka yang sudah terbiasa hidup secara tidak benar. Bahkan mereka juga berusaha untuk meracuni minumannya, tetapi ketika ia membuat tanda salib botol anggur itu pun pecah berkeping-keping. Walaupun demikian Benediktus tidak marah kepada mereka; ia hanya berkata, “Tuhan mengampunimu, saudara-saudara. Mengapa engkau bersekongkol merencanakan hal yang jahat ini? Bukankah sudah kukatakan bahwa caraku tidak cocok dengan caramu? Pergi dan carilah kepala biara menurut seleramu sendiri, karena setelah kejadian ini kalian tidak bisa menahan saya di sini lagi di antara kalian.” Setelah berkata demikian ia pun kembali ke Subiaco. Di situ Tuhan mulai mengirim banyak orang kepadanya. Pada saat itu Tuhan mulai mengerjakan karya besar dalam dirinya. Rupanya Tuhan ingin memakai Benediktus untuk mempersatukan para rahib yang selama ini terpencar-pencar. Maka Benediktus mengumpulkan mereka yang mau mengikutinya dalam dua belas biara dari kayu, masing-masing terdiri dari 12 rahib dan memiliki kepala biaranya masing-masing. Ia menjadi pembimbing utama, namun tinggal secara terpisah dengan beberapa rahib yang dilatih secara khusus. Selama itu mereka tidak memiliki peraturan tertulis sendiri, tetapi mereka diberi pengetahuan tentang hidup religius dan mengikuti-contoh kebajikan-kebajikan dari cara hidup Benediktus sendiri. Mulai saat itu banyak orang dari berbagai daerah dan bangsa ingin bergabung bersama Benediktus. Suatu hari ada seorang bangsa Goth yang kasar dan tak terdidik datang kepada Benediktus dan ia diterima dengan sukacita serta diberi jubah biara. Dengan sabit besar, ia disuruh untuk membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh subur di dekat danau. Ia bekerja dengan sangat keras sampai kepala sabit tersebut terbang dan hilang ke dalam danau. Orang muda yang malang ini pun sangat sedih. Ketika Benediktus mendengar tentang kejadian itu, ia membawanya ke ujung danau dan mengambil sabit tersebut dan melemparkannya ke dalam danau. Segera kepala sabit itu muncul dari danau dan menempel pada tongkatnya. Benediktus lalu mengembalikan sabit itu dan berkata, “Ambillah! Lanjutkanlah pekerjaanmu dan janganlah bersedih hati!” Ini bukanlah mujizat Benediktus yang terakhir, yang menghapuskan pendapat orang bahwa pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar itu menurunkan martabat dan merendahkan orang. Benediktus percaya bahwa pekerjaan kasar bukan saja bermartabat, tetapi juga baik untuk mencapai kesucian. Sesuatu yang baik pasti juga akan menimbulkan reaksi dan tantangan. Di daerah sekitar Subiaco tinggallah seorang imam yang bernama Florentius. Ia menjadi iri hati melihat keberhasilan Benediktus. Berbagai macam cara dilakukannya untuk menjatuhkan nama baik Benediktus. Ia menyebarkan fitnah-fitnah yang jahat kepada orang-orang di sekitarnya, bahkan hendak membunuh Benediktus dengan mengirimkan roti beracun. Namun Tuhan tidak tinggal diam, Ia mengirim seekor burung gagak untuk mengambil roti itu dari Benediktus. Menyadari adanya maksud jahat dari Florentius yang ditujukan kepada dirinya secara pribadi, maka akhirnya Benediktus memutuskan untuk meninggalkan Subiaco. Ia pergi ke daerah Monte Cassino, yang berada di tempat tinggi dan terpencil di perbatasan Campania. Benediktus mengawali karya pertamanya di kota ini dengan berpuasa 40 hari lamanya, kemudian ia berkotbah untuk mempertobatkan mereka. Pengajaran dan mujizat yang dilakukannya membawa penduduk kota tersebut kepada pertobatan. Dengan bantuan mereka Benediktus merobohkan kuil Apollo yang berdiri di puncak Monte Cassino kemudian mendirikan sebuah biara di sana, yang kemudian menjadi biara paling terkenal di dunia, dasar yang didirikan oleh Benediktus di sekitar abad 530. Dari sinilah mulai suatu pengaruh yang memainkan peranan besar dalam sejarah Gereja dan kebudayaan Eropa sesudah masa Romawi. Di Monte Cassino, Benediktus kembali menjalani kehidupannya sebagai seorang eremit. Namun tidak lama kemudian para muridnya segera berbondong-bondong ke Monte Cassino juga. Belajar dari pengalaman peristiwa di Subiaco, ia tidak lagi menempatkan mereka dalam rumah-rumah yang terpisah melainkan mengumpulkan mereka semua dalam satu tempat yang diatur oleh seorang kepala biara dan wakil-wakil di bawah pengawasannya. Situasi di Monte Cassino berbeda dengan Subiaco, banyak orang datang ke sana, bukan hanya kaum awam namun juga para pembesar Gereja yang ingin berkonsultasi dengan Benediktus karena reputasi kesucian dan kebijaksanaannya. Apalagi letak Monte Cassino mudah dicapai dari Roma dan Capua. Pada saat ini pula Benediktus menulis peraturan-peraturannya. Pada mulanya peraturan tersebut ditujukan bagi para rahibnya di Monte Cassino, namun Paus Hormidas menginginkan peraturan itu ditulis bagi semua rahib di Barat. Peraturan-peraturan tersebut ditujukan bagi mereka yang ingin menyangkal keinginan mereka sendiri, dan mengambil “senjata yang kuat dan terang akan ketaatan untuk berperang di bawah Yesus Kristus, Raja kita yang sesungguhnya,” dan peraturan tersebut menyarankan suatu kehidupan doa liturgi, pengetahuan (“bacaan suci”) dan kerja tangan, hidup bersosialisasi dalam sebuah komunitas di bawah seorang pemimpin umum. Ia mengajar para rahibnya untuk berdoa dan bekerja dengan tekun. Terutama sekali, ia mengajarkan mereka untuk senantiasa rendah hati. Benediktus dan para rahibnya banyak menolong masyarakat sekitar pada masa itu. Mereka mengajari orang banyak itu membaca dan menulis, bercocok tanam dan aneka macam ketrampilan dalam berbagai lapangan pekerjaan. Abbas kudus ini tidak hanya melayani mereka yang mau mengikuti peraturannya, tetapi juga melayani umat di sekitar tempat tersebut; ia menyembuhkan orang-orang yang sakit, memberikan penghiburan bagi orang yang tertekan, membagikan amal dan makanan kepada yang miskin, juga pernah dikatakan bahwa ia membangkitkan orang mati tidak hanya satu kali. Ketika Campania menderita kelaparan, ia memberikan semua persediaan makanan di biara kecuali lima potong roti. “Kamu mungkin tidak memiliki cukup makanan hari ini,” katanya kepada para rahibnya ketika melihat kesedihan mereka, “tetapi besok kamu akan memiliki makanan yang berlebihan.” Esok paginya ada banyak terigu tergeletak tanpa diketahui siapa yang meletakkannya di pintu gerbang biara. Juga dari cerita turun temurun dalam ilustrasi kekuatan profetis Benediktus, dikatakan bahwa ia dapat membaca pikiran manusia. Seorang bangsawan yang baru ia pertobatkan pada suatu waktu melihatnya menangis dan bertanya apa penyebab kesedihannya. Ia menjawab, ”Biara yang telah saya dirikan dan semua yang telah dipersiapkan bagi saudara-saudaraku telah diserahkan ke surga oleh hukuman Yang Mahakuasa. Hampir-hampir aku tidak dapat memohon belaskasihan bagi hidup mereka.” Nubuat ini terbukti sekitar empat puluh tahun kemudian, ketika biara Monte Cassino dihancurkan oleh bangsa Lombard.
Ketika Totila, orang Goth menang atas Itali, ia menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan Benediktus karena telah banyak mendengar tentangnya. Oleh karena itu, ia mengirim utusan untuk memberitahukan kedatangannya ke Sang Abbas. Untuk membuktikan apakah orang kudus ini benar memiliki kemampuan seperti yang telah ia dengar, Totila memerintahkan Riggo, kapten pengawalnya untuk mengenakan jubah ungu kebesarannya dan mengirimnya bersama dengan tiga bangsawan yang biasa menyertai raja ke Monte Cassino. Namun, penyamaran ini tidak dapat mengelabui Benediktus yang menyambut Riggo dengan kata-kata, “Anakku, lepaskanlah jubah yang kau pakai itu karena itu bukan kepunyaanmu.” Maka cepat-cepat Riggo pergi dan melaporkan kepada tuannya bahwa ia telah diketahui. Ketika Totila sendiri datang kepada hamba Tuhan tersebut, diceritakan bahwa ia begitu terpesona hingga ia sujud berlutut di hadapannya. Akan tetapi, Benediktus mengangkatnya dari tanah, serta menegurnya karena kelakukan-kelakuannya yang jahat, dan meramalkan kepadanya semua yang akan menimpanya. Kemudian raja itu mengharapkan doanya dan pergi, dan sejak saat itu kejahatannya berkurang. Kejadian ini terjadi pada tahun 542 dan Santo Benediktus tidak hidup cukup lama untuk melihat semua kepenuhan dari seluruh ucapan profetisnya sendiri. Ia juga telah meramalkan banyak hal lain dan bahkan kematiannya yang mendekat. Ia memberitahukan kepada para muridnya dan enam hari sebelum harinya ia meminta mereka untuk menggali kuburnya. Segera setelah hal ini dilakukan ia terkena demam, dan pada hari terakhir ia menerima Tubuh dan Darah Yesus. Kemudian, ketika tangan-tangan penuh kasih dari saudara-saudaranya menopang tubuhnya yang lemah, ia mengucapkan kata-kata doa terakhirnya dan iapun meninggal,  berdiri di atas kakinya dalam kapel, dengan tangannya terangkat ke atas mengarah ke surga. Ia dikuburkan di sebelah saudarinya Santa Skolastika yang meninggal enam minggu sebelumnya di tempat altar dewa Apollo yang ia telah rubuhkan.
4. Hal-hal yang penting untuk pengembangan hidup rohani
Santo Benediktus mampu melakukan hal-hal baik karena ia senantiasa berdoa. Dari aturan hidup yang dibuatnya terlihat jelas kepribadian Benediktus sebagai seorang pemimpin biara yang ramah tamah, bijaksana dan penuh  pengertian. Sikapnya sangat moderat baik dalam hal doa, kerja, pewartaan, makanan, tidur, dan lain-lainnya. Aturan hidup membiara Santo Benediktus merupakan aturan hidup membiara pertama di Eropa Barat, dan Santo Benediktus biasanya digambarkan sebagai seorang Abbas yang sedang memegang satu salinan aturan hidup membiara. Sudah sering didengar semboyan ”ora et labora” yang berarti ”berdoa dan bekerja” namun mungkin kurang disadari bahwa semboyan itu sebetulnya adalah salah satu pedoman/peraturan hidup membiara yang ditulis oleh Santo Benediktus. Moto ”ora et labora” dan ”pax” yang berarti perdamaian sebetulnya adalah juga moto Ordo Benediktin, ordo yang pertama kalinya mengadopsi Peraturan Santo Benediktus atau Regula Benedicti. Pada abad keempat saat Benediktus hidup, sudah ada banyak orang-orang yang terpanggil untuk hidup seperti Yesus di padang gurun, mengisolasi diri dari kehidupan ramai dan membaktikan diri untuk berdoa dan bertapa[1].  Dibandingkan dengan peraturan-peraturan lainnya, Regula Benedicti menawarkan jalan tengah antara semangat individu dan tatanan kelembagaan; karena alasan inilah maka kitab tersebut menjadi sangat populer bagi komunitas-komunitas rahib. Pokok perhatian Benediktus adalah kebutuhan-kebutuhan para rahib dalam lingkungan komunitas: seperti, penegakan ketertiban, pemupukan unsur saling-memahami dari sifat relasional manusia, serta ketersediaan seorang Bapa rohani guna memberi dukungan dan memperteguh upaya matiraga individual dan pertumbuhan rohaniah yang dibutuhkan untuk menggenapi panggilan umat manusia, yakni theosis. Salah satu peraturan Santo Benediktus bagi kehidupan biara adalah doa-doa breviary dan ofisi. Para imam dan para anggota Ordo Religius menggunakan sebuah buku khusus yang disebut “Breviary”. Breviary berasal dari bahasa Latin yang berarti “pendek” atau “singkat”. Breviary berisi kumpulan doa dan mazmur yang diambil dari Kitab Suci dan dari bacaan-bacaan rohani yang lain. Breviary didoakan setiap hari pada jam-jam tertentu. Oleh karena itu, Breviary juga disebut “Ibadat Harian” atau “Ofisi” (dari bahasa Latin `officium’, artinya kewajiban). Ofisi adalah bagian dari “peraturan hidup” yang ditetapkan oleh Santo Benediktus. Ia menetapkan para biarawan dan biarawati berdoa empat hingga delapan jam sehari, tidur delapan jam dan menggunakan waktu selebihnya untuk bekerja dan belajar. Jam-jam tersebut ialah: Matins, saat fajar; Prime saat mulai bekerja; Terce jam 9:00, Sext siang hari; None jam 3:00 sore; Vespers saat matahari terbenam; dan Compline sebelum tidur.

5. Refleksi Teologis
            Cara hidup Benediktus dan peraturan hidup rohani yang termuat dalam Regula Benedikti sebenarnya juga mengungkap realitas ilahi, bahwa Allah sangat mengasihi dan mencintai manusia. Dari Benediktus, beberapa hal bisa diangkat:
1. Pribadi yang sangat mengasihi Allah
Benediktus berasal dari keluarga yang kaya raya. Karena itu ia bisa saja hidup senang dengan segala kekayaannya. Namun Tuhan ternyata jauh lebih memikat hati Benediktus dibandingkan dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia. Baginya hidup sederhana bersama Allah jauh lebih indah dibandingkan dengan hidup yang berlimpah harta dan kedudukan. Tanpa ragu-ragu Benedistus meninggalkan keluarga dan hartanya, kemudian ia hidup sangat sederhana dalam sebuah gua di pegunungan dan hanya berpakaian bulu domba. Ia menghabiskan waktunya untuk berdoa dan bermati raga, untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan kekuatannya. Kata-kata Yesus mendapatkan maknanya, yaitu carilah dahulu Kerajaan Allah dan semua akan ditambahkan. Ini merupakan penegasa pula bahwa pengikut Yesus memang harus meninggalkan keluarganya dan kekayaannya karena Dialah sumber kebahagiaan sejati.
2. Tegas dalam menolak godaan
Hidup secara tersembunyi bagi Allah dan jauh dari dunia tidak membuat Benediktus terluput dari godaan. Seringkali Benediktus digoda untuk keluar dari doa-doanya, untuk meninggalkan pertapaannya dan kembali ke dunia. Namun, Benediktus selalu menolak godaan tersebut secara radikal, ia tidak pernah mau mengikuti godaan tersebut.
Satu ketika Benediktus pernah digoda begitu hebat oleh roh jahat yang membawa ke dalam imajinasinya seorang wanita yang ia temui sebelumnya. Hatinya dibakar dengan kobaran nafsu, hingga hampir menguasai pikirannya untuk meninggalkan pertapaan. Akan tetapi, dibantu oleh kerahiman ilahi, Benediktus segera melawan godaan tersebut dengan melemparkan dirinya ke semak-semak berduri. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi mendapat kesukaran yang sama. Itu berarti bahwa kelekatan hidup bersama Tuhan menjadi jaminan. Ini menyerupai pengalaman Yesus di padang gurun. Ia digoda, tetapi kekuatan iman memberi-Nya kekuatan untuk bertahan dalam prinsip hidup ilahi.
3. Pemimpin yang bijaksana
Cara hidup radikal yang dijalani oleh Benediktus sebenarnya  merupakan suatu persiapan untuk suatu karya besar yang telah disiapkan Tuhan baginya. Cara hidup, kesucian, dan kesalehannya banyak menarik orang-orang di sekitarnya untuk mengikuti cara hidupnya yang keras. Benediktus merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, ia memimpin murid-muridnya dengan penuh kasih namun tegas dalam menjalankan peraturan biara demi kebaikan hidup bersama. Ketika ia diminta menjadi pemimpin sebuah biara yang merosot kehidupannya, dengan segera ia menerapkan kembali disiplin dan peraturan biara. Meskipun menemui banyak tantangan, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk membawa mereka kembali pada semangat religius yang benar. Ia hidup menyerupai Kristus dengan segala kebijaksanaan-Nya. Seperti Yesus yang diikuti oleh banyak orang, seperti itu pula kehidupan Benediktus. Cara hidup Yesus merasuki dirinya, sehingga ia menjadi pemimpin yang sejati. Ada ketegasan dan kebijaksanaan.
4. Pembimbing rohani yang ulung
Santo Benediktus bukan hanya seorang pemimpin yang bijaksana, tetapi juga seorang pembimbing rohani yang ulung. Ia selalu menolong orang-orang yang datang kepadanya, yang mencari bimbingan rohani dan nasehatnya. Dalam mengajar para rahibnya, Benediktus tidak hanya menekankan doa tetapi menekankan juga pekerjaan tangan. Baginya hidup rohani itu harus seimbang antara doa dan kerja. Pekerjaan tangan ia pandang tidak hanya bermartabat tetapi juga baik untuk kesucian. Kata-kata Paulus sangat relevan: Yang tidak bekerja jangan diberi makan. Yesus juga menyebut bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upanya.




5. Seorang yang lembut hati
Kasihnya yang begitu besar kepada Allah juga meluap kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, khususnya bagi orang-orang yang miskin, menderita, dan sakit. Benediktus seringkali melayani umat yang ada di sekitar biaranya, menyembuhkan yang sakit, memberikan kelegaan kepada orang yang tertekan, membagikan amal dan makanan kepada orang-orang miskin, dan lain-lain.Ia begitu mudah merasa iba melihat orang yang menderita  berusaha untuk membantu mereka. Suatu ketika terjadi kelaparan di Campania. Namun karena belas kasihan dan kelembutan hatinya, ia memberikan semua persediaan makanan di biara kecuali lima potong roti. Pengorbanan dan belas kasihan St. Benediktus rupanya sangat berkenan di hadapan Tuhan, sehingga keesokan harinya ada begitu banyak tepung terigu tergeletak di pintu gerbang biara tanpa diketahui siapa yang meletakkannya. Hal ini seruapa dengan Yesus yang selalu peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, bahkan menghibur para janda dan para wanita.
6. Penuh dengan belas kasih dan pengampunan
Kasihnya yang begitu besar kepada Allah rupanya juga membuat Benediktus menjadi orang yang penuh  belas kasihan serta pengampunan kepada orang lain. Baginya kasih kepada sesama adalah perwujudan dari kasihnya yang begitu besar kepada Allah. Kasih bagi Benediktus juga berarti menerima orang lain dalam segala kekurangan dan kelemahan mereka, juga mengampuni segala kesalahan mereka. Namun, itu bukan berarti ia kompromi dengan dosa. Sikapnya ini seperti apa yang diteladankan oleh Yesus sendiri, Ia mengasihi para pendosa tetapi Ia membenci dosa. Sikap ini nampak ketika para rahib di biara memusuhinya, bahkan hendak meracuninya. Belas kasihannya yang begitu besar juga nampak ketika Florentius, seorang imam, membencinya karena iri hati kepada Benediktus.






Lampiran:
Garis besar Regula Benedikti
Prologue
Chapter 1:
Of the Kinds or the Life of Monks
Chapter 2:
What Kind of Man the Abbot Ought to Be
Chapter 3:
Of Calling the Brethren for Counsel
Chapter 4:
The Instruments of Good Works
Chapter 5:
Of Obedience
Chapter 6:
Of Silence
Chapter 7:
Of Humility
Chapter 8:
Of the Divine Office during the Night
Chapter 9:
How Many Psalms Are to Be Said at the Night Office
Chapter 10:
How the Office Is to Be Said during the Summer Season
Chapter 11:
How the Night Office Is to Be Said on Sundays
Chapter 12:
How Lauds Are to Be Said
Chapter 13:
How Lauds Are to Be Said on Week Days
Chapter 14:
How the Night Office Is to Be Said on the Feasts of the Saints
Chapter 15:
At What Times the Alleluia Is to Be Said
Chapter 16:
How the Work of God Is to Be Performed during the Day
Chapter 17:
How Many Psalms Are to Be Sung at These Hours
Chapter 18:
In What Order the Psalms Are to Be Said
Chapter 19:
Of the Manner of Reciting the Psalter
Chapter 20:
Of Reverence at Prayer
Chapter 21:
Of the Deans of the Monastery
Chapter 22:
How the Monks Are to Sleep
Chapter 23:
Of Excommunication for Faults
Chapter 24:
What the Manner of Excommunication Should Be
Chapter 25:
Of Graver Faults
Chapter 26:
Of Those Who without the Command of the Abbot Associate with the Excommunicated
Chapter 27:
How Concerned the Abbot Should Be about the Excommunicated
Chapter 28:
Of Those Who Having Often Been Corrected Do Not Amend
Chapter 29:
Whether Brethren Who Leave the Monastery Ought to Be Received Again
Chapter 30:
How Young Boys Are to Be Corrected
Chapter 31:
The Kind of Man the Cellarer of the Monastery Ought to Be
Chapter 32:
Of the Tools and Goods of the Monastery
Chapter 33:
Whether Monks Ought to Have Anything of Their Own
Chapter 34:
Whether All Should Receive in Equal Measure What Is Necessary
Chapter 35:
Of the Weekly Servers in the Kitchen
Chapter 36:
Of the Sick Brethren
Chapter 37:
Of the Aged and Children
Chapter 38:
Of the Weekly Reader
Chapter 39:
Of the Quantity of Food
Chapter 40:
Of the Quantity of Drink
Chapter 41:
At What Times the Brethren Should Take Their Refection
Chapter 42:
That No One Speak after Complin
Chapter 43:
Of Those Who Are Tardy in Coming to the Work of God or to Table
Chapter 44:
Of Those Who Are Excommunicated -- How They Make Satisfaction
Chapter 45:
Of Those Who Commit a Fault in the Oratory
Chapter 46:
Of Those Who Fail in Any Other Matters
Chapter 47:
Of Giving the Signal for the Time of the Work of God
Chapter 48:
Of the Daily Work
Chapter 49:
On the Keeping of Lent
Chapter 50:
Of the Brethren Who Work a Long Distance form the Oratory or Are on a Journey
Chapter 51:
Of the Brethren Who Do Not Go Very Far Away
Chapter 52:
Of the Oratory of the Monastery
Chapter 53:
Of the Reception of Guests
Chapter 54:
Whether a Monk Should Receive Letters or Anything Else
Chapter 55:
Of the Clothing and the Footgear of the Brethren
Chapter 56:
Of the Abbot's Table
Chapter 57:
Of the Artists of the Monastery
Chapter 58:
Of the Manner of Admitting Brethren
Chapter 59:
Of the Children of the Noble and of the Poor Who Are Offered
Chapter 60:
Of Priests Who May Wish to Live in the Monastery
Chapter 61:
How Stranger Monks Are to Be Received
Chapter 62:
Of the Priests of the Monastery
Chapter 63:
Of the Order in the Monastery
Chapter 64:
Of the Election of the Abbot
Chapter 65:
Of the Prior of the Monastery
Chapter 66:
Of the Porter of the Monastery
Chapter 67:
Of the Brethren Who Are Sent on a Journey
Chapter 68:
If a Brother is Commanded to Do Impossible Things
Chapter 69:
That in the Monastery No One Presume to Defend Another
Chapter 70:
That No One Presume to Strike Another
Chapter 71:
That the Brethren be Obedient to One Another
Chapter 72:
Of the Virtuous Zeal Which the Monks Ought to Have


[1] Ada 4 golongan pertapa/rahib pada saat itu: 1. Sarabaites, rahib yang sendirian atau tidak lebih tiga orang berada dalam satu lokasi yang sama, tanpa ada pimpinan dan hanya menggantungkan diri pada kesepakatan-kesepakatan lisan antara mereka. 2. Cenobites, sekelompok rahib yang tinggal dalam suatu kelompok dalam rumah bersama atau biara, memiliki aturan-aturan baku dan memiliki pimpinan dari mereka, yang disebut abbas. 3. Anchorites, adalah rahib dari biara tertentu yang sesudah beberapa lama di biara, pergi untuk benar-benar mengasingkan diri seorang diri. 4. Gyrovagues, adalah rahib yang berkelana dari biara yang satu ke biara yang lain, mengabdi sebagai pelayan bagi biara yang ditumpanginya. Pada saat itu yang terbanyak adalah kelompok Cenobites, sehingga sebenarnya Peraturan Santo Benediktus ditujukan pada kelompok tersebut. Perlu diingat juga bahwa kehidupan merahib ini awalnya dilakukan oleh orang-orang Kristen di Mesir dan baru kemudian diikuti oleh orang-orang Eropa, termasuk Santo Benediktus. Bermula dari kehidupan sebagai Sarabaites yang menyendiri, kebanyakan para pertapa ini akhirnya berkumpul bersama dalam biara dengan pimpinan rohani yang dinamakan Abbas. Santo Antonius Agung (251-356) yang menginspirasi para rahib di Mesir untuk berdoa bersama dalam komunitas biara. Selain itu Santo Basil dari Kaesarea juga berperan penting bagi para rahib dengan menuliskan peraturan bagi kehidupan bermatiraga atau asketika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar