Senin, 06 Mei 2013

Cacat Dalam Tata Peneguhan Katolik


(Relevansi kann. 144, §2; 1108, 1111; 1686)

Tata peneguhan kanonik

Tata peneguhan sah bagi orang Katolik adalah tata peneguhan kanonik, kecuali jika dibebaskan dari kewajiban untuk menepatinya. Cacat dalam tata penguhan kanonik bisa terjadi jika hanya ada satu saksi atau jika sang peneguh (pastor) tidak mempunyai kewenangan, kendati bisa disembuhkan oleh hukum dengan alasan kekeliruan biasa berdasarkan kan. 144,§ 2: "Norma yang sama (dalam kekeliruan umum) diterapkan pada kewenangan-kewenangan yang disebutkan dalam kan. 882, 883, 966 dan 1111,§ 1".

Dalam perkawinan campur beda Agama atau beda Gereja, jika pihak Katolik mendapat dispensasi dari tata peneguhan kanonik, suatu tata peneguhan tertentu yang bersifat publik tetap dituntut. Tetapi bisa terjadi cacat dalam tata peneguhan, jika misalnya suatu pasangan suami-isteri itu dimana salah satu adalah baptis Katolik dan yang lain baptis non Katolik; dan mereka telah melaksanakan tata peneguhan perkawinan secara adat atau sipil, kemudian di Gereja dilaksanakan konvalidasi perkawinan yang upacaranya hanya dianggap sebagai berkat saja, sebagaimana sering terjadi.

Kuasa tidak sah dalam perkawinan lewat wali (bdk. kan 1105)

Bisa saja suatu kali muncul sebuah kasus semacam ini, yakni dimana orang yang ditunjuk menjadi wali tidak menjalankan tugasnya dan digantikan oleh seseorang.

Kanisius Kramat menikah dengan Kanisia Sentiong, karena Kramat bekerja di luar negeri, dia berniat menikahi Sentiong dengan perantaraan seorang wali, sehingga mereka bisa hidup bersama sebagai suami-isteri. Kramat memilih Vincentius Lima sebagai wakilnya. Oleh karena itu dia membuat sebuah surat kuasa seturut hukum. Namun, sebelum perkawinan berlangsung keluarga Kramat bertengkar dengan keluarga Vicentius Lima. Akibatnya keluarga Kramat memerhitungkan hal itu dan menunjuk orang lain untuk bertindak sebagai wali dari Kramat. Pada hari perkawinan Vincentius Lima wakil yang dipilih Kramat diganti orang lain, Pastor yang meneguhkan perkawinan ditipu tentang identitas pengganti baru ini dan perkawinan tetap dilaksanakan. Baru setelah beberapa tahun kemudian perkawinan Kramat dengan Sentiong bubar. Semua hal itu diketahui, ketika seorang pastor mendengarkan sejarah perkara itu bertanya apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi pada saat perkawinan dilangsungkan?

Tidak adanya tata peneguhan kanonik

Perkara semacam itu sering terjadi dan terjadi karena bermacam-macam alasan misalnya, pihak Katolik telah lama mogok, atau tidak mengingini perkawinan gerejawi atau tidak mengetahui keharusan mentaati tata peneguhan kanonik. Contoh: Katarina Cikini yang lahir dari keluarga tidak baptis , pada waktu kecil dibaptis dalam Gereja Katolik, karena kedua orang tuanya adalah katekumen. Mereka tidak bertahan lama dan Katarina Cikini tumbuh dalam agama tradisional masyarakat tempat ia hidup. Dia menikah dengan Raden Gemblung tidak baptis, dan perkawinan dilangsungkan menurut hukum adat. Perkawinan itu akhirnya bubar, lalu Katarina Cikini mulai ke Gereja karena dia suka menyanyi dalam koor di Gereja. Di sana dia berjumpa dengan seorang laki-laki Katolik yang ingin menikahinya. Pastor membuat penyelidikan dan fakta tentang pembaptisan Katarina Cikini diketemukan bahwa adanya ketidakabsahan perkawinannya dengan Raden Gemblung, karena tidak adanya tata peneguhan kanonik.

Penanganan perkara

Perkara-perkara yang menyangkut adanya cacat dalam tata peneguhan perkawinan ditangani lewat proses pengadilan (bdk. kan. 1671), tetapi perkara tidak adanya tata peneguhan kanonik diurus secara administratif dan menjadi bagian penyelidikan sebelum perkawinan. Pastor yang bertanggungjawab untuk menangani perkara tersebut harus melihat apakah semuanya sudah dipersiapkan ataukah belum, untuk pembuktian adanya cacat atau tidak adanya tata peneguhan perkawinan. Penyelidikan yang sungguh-sungguh harus diadakan untuk membuktikan apakah tata peneguhan kanonik itu diberi dispensasi atau tidak. Jika dipandang perlu, bisa dipanggil saksi-saksi dan ditanya di bawah sumpah. Pihak lain dari perkawinan lama tidak harus disebut. Perkara semacam itu diurus dalam KHK 1983, kanon 1686 dan seterusnya. Izin yang diberikan oleh ordinaris wilayah untuk perkawinan baru harus dicatat dalam formulir penyelidikan kanonik.


Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

http://www.mirifica.net/artList.php?kid=23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar