Rabu, 09 November 2011

Hari Pahlawan Nasional (10 November)

(A. Umar Said*)

Agaknya, bagi banyak di antara kita, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa tanggal 10 November merupakan salah satu di antara berbagai hari bersejarah yang teramat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, tanggal 10 November telah dinyatakan oleh bangsa kita sebagai Hari Pahlawan. Di zaman Sukarno-Hatta, hari itu diperingati secara nasional (artinya : di mana-mana, di seluruh negeri) sebagai Hari Besar yang dirayakan secara khidmat, dan dengan rasa kebanggaan yang besar.

Pada kurun waktu itu, peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang - yang tak terhitung jumlahnya _ dalam perjuangan bersama bagi tegaknya Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Peringatan Hari Pahlawan 10 November juga telah merupakan kesempatan yang ideal untuk selalu memupuk bersama-sama kesadaran bangsa.

Sekarang ini, dalam tahun 2011, ketika negara dan bangsa kita memasuki periode baru yang penuh dengan berbagai soal gawat dan pelik, bersama-sama mengenang kembali dan merenungi arti Hari Pahlawan 10 November, mungkin besar manfaatnya. Dengan begitu, kita akan ingat kembali bahwa Republik Indonesia yang sekarang ini adalah hasil perjuangan dari begitu banyak orang (yang terdiri dari berbagai suku, agama, keturunan ras, keyakinan politik), dan dalam jangka lama pula. Dengan merenungkan, secara dalam-dalam, berbagai tahap perjuangan bangsa itu, maka akan makin jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa Republik Indonesia ini adalah benar-benar milik kita bersama.

TAHAP PENTING DALAM LONG MARCH BANGSA

Dalam mengenang arti Hari Pahlawan 10 November sudah sepatutnyalah kiranya bahwa kita memandang peristiwa itu sebagai tahap yang penting dalam long march (perjalanan jauh) bangsa kita. Dan alangkah panjangnya, atau jauhnya, long march yang harus ditempuh oleh bangsa kita, untuk melahirkan republik ini! Long march ini telah secara nyata dimulai, antara lain, dengan lahirnya Budi Utomo (Surabaya, 20 Mei 1908, yang sekarang dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional), lahirnya Sarekat Islam (Surabaya, 1912), Indische Partij (Bandung, 1912), Muhammadiyah (Jogya 1912), PKI (Semarang, 1920), Perhimpunan Indonesia (di negeri Belanda, 1922), pembrontakan PKI (Jawa Tengah dan Sumatera Barat, 1926), lahirnya PNI (1927).

Dalam barisan panjang _long march_ bangsa ini patut kita catat juga ikut sertanya berbagai gerakan seperti Jong Java (1918), yang disemarakkan pula oleh lahirnya Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Indonesia (Bandung, 1927), yang kemudian mencapai puncaknya dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928). Bagian-bagian lainnya dalam barisan long march bangsa, yang tidak bisa dilupakan juga, adalah kelahiran Parindra, Gerindo, Partindo, Pusat Tenaga Rakyat (1943, yang dipimpin oleh 4 serangkai Sukarno-Hatta-Ki Hadjar Dewantoro- Kyai Haji Mas Mansur), kelahiran Pembela Tanah Air _PETA (1943), dan Barisan Pelopor (1944, yang dipimpin oleh Sukarno). Dan juga gerakan di bawah-tanah anti-fasisme Jepang, serta pembrontakan PETA di Blitar (14 Februari 1945).

Kalau kita cermati kembali barisan _long march_ menuju ke proklamasi kemerdekaan, maka nampaklah betapa indahnya dan agungnya pemandangan itu. Begitu banyak orang dari berbagai suku, agama, asal keturunan ras, keyakinan politik, telah ambil bagian dalam long march yang jauh ini, dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Mereka ini, dalam situasi yang berbeda-beda, dan kemampuan yang berbeda-beda, telah memberikan sumbangan dalam pembangunan kesadaran nasional untuk melawan musuh yang satu : kolonialisme Belanda. (Dan, seyogyanyalah sama-sama kita ingat, bahwa dalam hal ini peran sejarah Bung Karno tidaklah kecil).

Oleh karena itu, dapatlah kiranya dikatakan bahwa tanggal 10 November 1945 merupakan manifestasi terpusat tekad kolektif rakyat untuk membela kemerdekaan bangsa dari kolonialisme Belanda. Yaitu kemerdekaan bangsa yang sudah diperjuangkan begitu lama oleh berbagai golongan bangsa sejak 1908 (bahkan sebelumnya). Tekad kolektif ini telah diterjemahkan dalam pertempuran-pertempuran dahsyat bukan hanya di Surabaya saja, tetapi juga di banyak pertempuran lainnya di Jawa dan Sumatera.

10 NOVEMBER 1945 UNTUK MEMBELA REPUBLIK

Dengan menelusuri kembali sejarah perjuangan bangsa, maka jelaslah bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta pada tgl 17 Agustus 1945 adalah hasil jerih-payah, hasil aliran air-mata dan darah, hasil pengorbanan di penjara-penjara atau di tempat pembuangan Digul, yang disumbangkan oleh begitu banyak orang dari berbagai golongan masyarakat negeri ini. Dan bisalah kiranya kita artikan bahwa pertempuran-pertempuran Surabaya (dan di tempat-tempat lainnya waktu itu) adalah, pada hakekatnya, pembelaan hasil pejuang-pejuang perintis kemerdekaan sebelum 1945. Singkatnya, 10 November 1945 adalah bentuk nyata tekad kolektif untuk membela Republik Indonesia (yang waktu itu baru berumur sekitar 3 bulan).

Dengan pendekatan sejarah yang demikian itulah makin kelihatan bahwa 10 November adalah bagian sejarah yang ada tali-temalinya - atau kepanjangan _ dengan peristiwa-peristiwa penting sebelumnya dalam melawan kolonialisme Belanda, antara lain: semangat pembrontakan PKI tahun 1926, pidato _Indonesia Menggugat_ oleh Bung Karno di depan pengadilan Belanda di Bandung (1927), pidato lahirnya Pancasila oleh Bung Karno (1 Juni 1945). Kalau sama-sama kita simak-simak kembali kedua pidato Bung Karno itu, dan kita renungkan isinya secara dalam-dalam, maka kita temukanlah di situ cita-cita bangsa kita untuk mencapai kemerdekan nasional dan persatuan bangsa, demi mendirikan suatu negara bagi rakyat kita.

Kalau dilihat dari berbagai segi, pertempuran besar-besaran dan gagah berani yang dilancarkan oleh pemuda dari beraneka-ragam suku bangsa di Surabaya _ dengan dukungan luas dari rakyat _ sungguh merupakan peristiwa yang patut dijadikan kenangan, pelajaran atau pendidikan. Karena itu, sudah benarlah bahwa peristiwa itu dijadikan sebagai hari besar bangsa, yaitu Hari Pahlawan. Bukan saja bahwa pertempuran Surabaya telah menjadi _obor_ dan sumber semangat bagi berkobarnya banyak perlawanan di berbagai daerah lainnya, tetapi juga merupakan peristiwa yang kemudian menarik perhatian dunia diplomatik internasional. (Faktor internasional adalah penting waktu itu, karena republik kita yang muda itu memerlukan juga pengakuan de jure dari dunia internasional)..

LATAR BELAKANG SEJARAH SECARA SINGKAT

Tanpa memaparkan kembali sejarah dan latar belakang Hari Pahlawan 10 November secara bertele-tele, mungkin ada gunanya bagi kita untuk mengingat berbagai data atau fakta yang berkaitan dengannya, sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan. Ringkasnya, atau padatnya, adalah yang berikut:

Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di pulau Jawa, dan pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh fasisme Jepang. Dengan dijatuhkannya bom atom di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki) dalam bulan Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu.

Selama pendudukan Jepang, di tengah-tengah penderitaan rakyat yang disebabkan oleh pendudukan tentara Jepang dan perang, di kalangan banyak golongan lahir semangat anti-Barat atau anti-kolonialisme, di samping perasaan anti-Jepang (terutama menjelang tahun 1945). Dalam rangka persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan menghadapi Sekutu, pemerintah Jepang telah menggunakan berbagai cara dan akal untuk _merangkul_ rakyat Indonesia, untuk menghadapi Sekutu. Peta (Pembela Tanah Air) telah dibentuk, dan Jepang juga menjanjikan _kemerdekaan_ kepada bangsa Indonesia. Pemimpin-pemimpin Indonesia (antara lain Sukarno, Hatta dll) telah menggunakan berbagai kesempatan waktu itu untuk menyusun kekuatan, demi cita-cita untuk kemerdekaan bangsa.

Dengan kekalahan Jepang menghadapi Sekutu, maka kemerdekaan bangsa Indonesia telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus, yaitu ketika pasukan pendudukan Jepang masih belum dilucuti oleh Sekutu. Sejak itulah terjadi berbagai gerakan rakyat untuk melucuti senjata pasukan Jepang, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah.

Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar-kobar itulah maka pada tanggal 15 September 1945 mendarat tentara Inggris di Jakarta dan pada tanggal 25 Oktober juga di Surabaya. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, di samping itu, tentara Inggris juga memikul tugas (secara rahasia) untuk mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.

Perkembangan sejak mendaratnya tentara Inngris di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kehadirannya (atas nama Sekutu) itu telah diboncengi oleh rencana fihak Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Tentara Inggris (Sekutu) yang datang ke Indonesia juga mengikutkan NICA (Netherlands Indies Civil Adminsitration). Kenyataan inilah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana. Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda Merah-Putih-Biru di hotel Yamato telah melahirkan _Insiden Tunjungan_, yang menyundut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan beraneka-ragam badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat.

Singkatnya, bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, makin memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada tanggal 30 Oktober. Karena terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby itu, maka penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6 pagi tanggal 10 November 1945.

SERANGAN BESAR-BESARAN TANGGAL 10 NOVEMBER

Adalah wajar sekali bahwa ultimatum yang semacam itu telah ditolak. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat sebagai alat negara juga telah dibentuk. Di samping itu, banyak sekali organisasi-organisasi perjuangan telah dilahirkan oleh beraneka-ragam golongan dalam masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Fihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. Rupanya, Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian menjadi TNI) dianggap enteng, apalagi badan-badan perjuangan bersenjata (laskar-laskar dll) yang banyak dibentuk oleh rakyat. Tetapi, diluar dugaan fihak Inggris, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada permulaannya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Ternyata, pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ditangan fihak Inggris.

KEAGUNGAN ARTI 10 NOVEMBER

Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena begitu banyaknya pahlawan - baik yang dikenal maupun tidak di kenal _ yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya telah dapat memobilisasi rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi atau _menyelundupkan_ NICA ke wilayah Indonesia.

Pertempuran Surabaya juga telah menyebarkan, ke daerah-daerah yang paling jauh di Indonesia, kesadaran republiken, patriotisme yang tinggi, solidaritas seperjuangan di kalangan berbagai suku, agama, keturunan. Pengaruhnya bagaikan nyala api besar yang membakar semangat perlawanan sehingga muncul juga pertempuran di banyak tempat di Indonesia. (Untuk menyebut sekedar sejumlah kecil di antaranya : di Jakarta pada tanggal 18 November, di Semarang tgl 18 November, di Riau tanggal 18 November, di Ambarawa tanggal 21 November, di pulau Bangka 21 November, di Brastagi tanggal 25 November, di Bandung tanggal 6 Desember, di Medan 6 Desember, di Bogor tanggal 6 Desember).

Ciri utama berbagai perjuangan yang meletus di banyak kota dan daerah di Indonesia adalah bahwa peristiwa-peristiwa itu mendapat dukungan besar moral dan material dari rakyat, yang berarti juga telah menggugah rasa kebersamaan patriotik dalam perjuangan, dan dalam skala yang luas. Dalam kaitan ini, patut dikenang bersama betapa banyaknya dapur-dapur umum yang telah diselenggarakan oleh rakyat di mana-mana bagi mereka yang berjuang, tanpa imbalan apa pun juga. Juga, betapa banyaknya rombongan pemuda-pemuda yang berbondong-bondong menuju daerah pertempuran.

Artinya, perjuangan melawan tentara Inggris (dan NICA) telah menggugah semangat patriotisme yang lintas-suku, lintas-agama, lintas-keturunan ras, dan lintas-aliran politik. Dengan semangat itu jugalah, rakyat Indonesia kemudian meneruskan, antara tahun 1945 sampai 1949, perjuangan melawan Belanda, sesudah tentara Sekutu (Inggris) meninggalkan Indonesia.

Dalam merenungkan kembali pertempuran Surabaya (dan juga pertempuran-pertempuran lainnya yang terjadi di banyak tempat di negeri kita) maka terbayanglah betapa indahnya suasana revolusi waktu itu, ketika patriotisme yang tinggi dan semangat sedia berkorban demi kepentingan rakyat dan bangsa menjadi kebanggaan umum. Suasana revolusi waktu itu telah memberikan pendidikan moral yang besar bagi banyak orang.

Sesudah bangsa kita melewati masa gelap Orde Baru, ketika api patriotisme sudah dibikin pudar dan semangat kerakyatan sudah dibikin semaput selama puluhan tahun, maka patutlah kiranya kita tetap menyimpan harapan bahwa bangsa kita akan bisa menemukan kembali arah besar yang sudah ditunjukkan oleh para pejuang perintis kemerdekaan dan para pahlawan yang sudah mendahului kita, yaitu : dengan jiwa Bhinneka Tunggal Ika mengabdi terus kepada kepentingan rakyat secara tulus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar