(Relevansi kan 1103-1105)
Kesepakatan yang tidak mencukupi
Kesepakatan atau konsensus adalah faktor kunci yang menjadi
lahirnya suatu perkawinan. Hal itu berarti bahwa terjadi kesepakatan antara
kedua mempelai untuk saling memberi diri dan menerima dengan tujuan membentuk
persekutuan hidup suami isteri suatu hubungan khusus yang timbul dari
kesepakatan itu. Mereka terikat dengan kesepakatan itu sampai kematian
memisahkannya.
Seperti yang kita ketahui bahwa kesepakatan nikah diungkapan
secara lahiriah dan jika salah satu mempelai tidak bermaksud memberikan diri
dan menerima pihak lain untuk membentuk persekutuan hidup suami isteri, maka terjadilah
simulasi penuh dan kesepakatan yang dibuat dengan sendirinya tidak sah.
Seseorang dapat menjalankan perkawinan tanpa bermaksud
meneriman kewajiban setia dalam perkawinan atau mempertahankan untuk dirinya
untuk mengusahakan perceraian jika perkawinan itu ternyata tidak menyenangkan.
Dalam perkara perkara semacam itu ada kehendak khusus yang menggagalkan
kesepakatan nikah. Semua perkara di atas menyangkut cacat dalam kesepakatan.
Tetapi cacat perkawinan bisa juga menjadi cacat dengan cara lain yakni jika
dalam dirinya sendiri tidak mencukupi.
Apa artinya tidak mencukupi?
Hal itu berarti jika salah satu mempelai ketika
melangsungkan perkawinan tidak sungguh menerima hubungan total dan satu-satunya
yang membentuk perkawinan. Sehingga kesepakatan yang diberikan itu tidak
mencukupi untuk melangsungkan sebuah perkawinan yang sah, meskpiun dalam hal
ini tidak ada simulasi yang penuh/total (bdk. kan 1101). Perkawinan semacam ini
bisa muncul bila salah satu mempelai tidak menginginkan mempelai lain, tetapi
tidak dapat menghindari terjadinya perkawinan.
Beberapa hal petunjuk.
Jika kita menemukan perkara perkawinan yang tidak diinginkan
terjadi tetapi tidak dapat dihindari, di mana dalam perkawinan itu tidak ada
atau hampir tak ada usaha untuk membentuk persekutuan hidup suami isteri (putus
tak beberapa lama setelah perkawinan), maka perkara semacam ini harus dikirim
ke pengadilan gerejawi. Supaya diperhatikan bahwa dalam kalangan masyarakat
tertentu ada tradisi yang menganggap bahwa anak perempuan termuda menjadi milik
keluarga dan harus memelihara orang tuanya di masa tua, bahkan mendapat warisan
dari mereka. Anak perempuan semacam ini bisa menjalankan upacara tanpa
kehendaknya pribadi secara sungguh untuk membentuk persekutuan hidup
suami-siteri tapi semata-mata untuk mendapatkan laki-laki dan mempunyai anak
(karena norma adat). Itulah artinya perkawinan berlangsung dengan tidak
mencukupi.
Kurangnya pertimbangan
Tindakan subyektif kesepakatan nikah harus merupakan
tindakan manusiawi. Maka harus secara sadar dan bebas. Karena itu keputusan
menikah haruslah dipertimbangkan secara matang tidak gegabah, ngawur asal
menikah (waspadalah bagi orang muda). Seseorang mengambil keputusan terjadi
melalui proses dimana pikiran yang membuat penilaian evaluatif tentang rentetan
tindakan yang harus dilakukan menampilkan cocok atau tidaknya untuk irang itu
sekarang ini dan saat ini. Jika rentetan tindakan yang ditampilkan dipandang
cocok lalu hal itu akan dimunculkan dalam kehendak sedemikian rupa dan kehendak
memilih asalkan kehendak menikmati kemerdekaan dari dalam yang biasanya memang
demikian.
Namun kebebasan memilih yang harus dinikmati kehendak supaya
bisa melaksanakan tindakan manusiawi bisa diambil tak hanya oleh dorongan dari
dalam tapi juga karena pengaruh dari luar. Salah satu pengaruh luar semacam itu
adalah rasa takut besar yang menggagalkan dalam dirinya, tetapi itu bukan
satu-satunya. Jika segala sesuatu telah diatur sedemikian rupa sehingga
seseorang tidak mempunyai pilihan lain selain menikah, kebebasan memilih bisa
dikurangi sehingga menjadikan kesepakatan yang diberikan secara intrinsik
menjadi cacat.
Kesepakatan nikah harus sungguh menjadi tindakan manusiawi,
oleh karena itu suatu tindakan yang sadar dan bebas. Kebebasan itu dikurangi
jika kemampuan orang memilih tetap dihalangi. Kebebasan ini secara pasti
disebut dari pelaku yang bebas dari ketakutan yang mengancam. Demikian juga ia
harus bebas dari pengaruh luar hingga sampai pada keputusan yang tidak bisa
dibatalkan dan harus dilaksanakannya. Dalam perkara semacam ini ketakutan akan
nasib malang dan membawa kerugian serius di masa mendatang akan muncul juga
tetapi alasan untuk nullitas atas dasar kesepakatn nikah harus dicari di tempat
lain yakni cacat intrinsik seturut kan 1105. Cacat itu bisa menjadi lebih
serius jika ada situasi tambahan khusus yang berciri subyektif atau obyektif.
Misalnya ada seorang gadis yang muda taat namun belum matang diharuskan memilih
untuk perkawinan tanpa ketetapan hati, bisa saja tanpa pertimbangan yang cukup
mengharuskan dia untuk memilih. Hal semacam itu bukan digolongkan paksaan
fisik.
Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar