Mungkin tidak banyak orang tahu
kalau menjadi Pastor itu ada saat berhenti tidak bekerja istirahat atau pensiun
oleh karena umur atau halangan lain. Lalu hidupnya bagaimana sesudah
purnakarya? Masa purnakarya/pensiun berlaku bagi semua imam, baik imam tarekat
ataupun imam diosesan. Tentu berbeda kehidupan imam sesudah pensiun antara imam
diosesan dan imam tarekat. Karena pada umumnya imam tarekat sudah memiliki
aturan masing-masing sesuai dengan statuta dan konstitusi hidup tarekat.
Bagaimana dengan imam diosesan? Apakah setiap keuskupan sudah memiliki tempat
peristirahatan semacam rumah jompo (istilah lain casa di riposo = rumah
istirahat) bagi imam diosesan yang pensiun? Kanon 538 dan kaitannya dengan
kanon-kanon lainnya mencoba menjelaskan topik ini.
Apa kata kanon 538, § 1 tentang
Pastor Paroki yang berhenti atau pensiun?
“Pastor Paroki berhenti dari
jabatannya karena (1) pemberhentian atau pemindahan oleh Uskup diosesan yang
dilakukan menurut norma hukum, (2) pengunduran diri yang dilakukan oleh Pastor
Paroki itu sendiri dengan alasan yang wajar dan agar sah diterima oleh Uskup itu,
dan (3) juga karena habisnya masa jabatan…” demikian isi kanon 538, § 1.
Beberapa kata kunci yang perlu
mendapat perhatian dari pernyataan kanon itu adalah:
1. Pemberhentian atau pemindahan. Sejak
pastor diangkat oleh Uskup Diosesan menjadi pastor paroki untuk
menyelenggarakan reksa pastoral paroki, dia memperoleh jabatan sebagai pastor
paroki dan wajib menjalankannya mulai saat ditetapkan untuk menduduki jabatan
tsb (bdk. kan 527). Dengan jabatan itu pastor paroki menjalankan tugasnya
bersifat tetap untuk waktu yang tak ditentukan (ad tempus indefinitum) kecuali
Konferensi Para Uskup setempat memutuskan suatu dekret tentang batas lamanya
jabatan pastor paroki (bdk. kan. 522). Maka seorang pastor paroki akan
kehilangan jabatan gerejawinya (berhenti) setelah masa jabatan tersebut
berakhir (bdk. kann. 184-186).
2. Dalam hal pemberhentian dan pemindahan
oleh karena alasan yang wajar mengikuti prosedur pemberhentian pastor paroki
(bdk. kann 1740-747). Namun tindakan pemberhentian atau pemindahan pastor
paroki dilakukan oleh Uskup dengan alasan yang wajar dan masuk akal. Artinya
alasannya itu sungguh sungguh serius. “Seseorang diberhentikan dari jabatannya
baik dengan dekret yang dikeluarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang
dengan tetap memerhatikan hak-hak yang barangkali telah diperoleh dari kontrak,
maupun oleh hukum sendiri menurut norma kanon 194” (bdk. kan 192).
3. Beberapa hal pokok menyangkut
pemberhentian. Demi hukum pemberhentian seorang imam dari jabatan gerejawi,
karena: (1) orang yang kehilangan status klerikal, (2) orang yang secara publik
meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja, (3) klerikus yang telah
mencoba menikah walaupun secara sipil saja (bdk. Kan. 194).
4. Tentang pengunduran diri berakibat kehilangan
jabatan gerejawi diatur dalam kann 187-189. Dikatakan bahwa untuk pengunduran
diri dari jabatan baik yang membutuhkan pengabulan atau tidak, harus dilakukan
kepada otoritas yang berwenang memberi jabatan tersebut dan itu harus dilakukan
secara tertulis atau secara lisan dihadapan dua saksi (bdk. kann. 186; 189, §
3) . Tentu saja surat pengunduran diri itu harus disertai dengan alasan masuk
akal dan berat atau karena halangan yang legitim. Mengapa? Karena klerikus
terikat kewajiban untuk menerima dan melaksanakan dengan setia tugas yang
dipercayakan Ordinaris kepada mereka, kecuali karena halangan yang legitim
(kan. 274, § 2). Oleh karena itu, Uskup diosesan sebelum menerima pengunduran
diri seorang imam, dia harus terlebih dahulu mengevaluasi dan melihat akibat
dari pengunduran dirinya terhadap pelayanan jiwa-jiwa umat beriman. Pengunduran
dari jabatan gerejawi juga dapat terjadi karena umur seperti dikatakan dalam
kan. 538, § 3: “Pastor Paroki yang genap 75 tahun diminta untuk mengajukan
pengunduran diri dari jabatannya kepada Uskup Diosesan, yang dengan
mempertimbangkan segala keadaan orang dan tempat yang bersangkutan memutuskan
untuk menerima atau menangguhkan permohonan itu...
”Penghidupan yang layak bagi imam
purnakarya/pensiun
Kanon 538, § 3 menyatakan bahwa:
...”Pastor Paroki yang mengundurkan diri harus diberi sustentasi dan tempat
tinggal yang pantas oleh Uskup diosesan, dengan memerhatikan norma-norma yang
ditetapkan oleh Konferensi Para Uskup.”. Di Indonesia belum ada norma sebagai
ketentuan yang ditetapkan oleh KWI perihal kehidupan imam sesudah purnakarya.
Namun demikian setiap uskup diosesan dapat membuat ketentuan sendiri (hukum
partikular) sesuai dengan kelayakan hidup umat setempat: seperti tempat tinggal
yang pantas untuk seorang imam, dana pensiun yang telah dikelola oleh pihak
keuskupan dan atau uang saku secukupnya untuk kehidupannya di hari tua. Tentang
tempat tinggal setiap keuskupan dapat mendirikan rumah peristirahatan bagi imam
diosesan yang pensiun, tentu saja perlu diperhatikan beberapa hal seperti:
dekat jaraknya dengan tempat tinggal umat beriman sehingga masih bisa
dikunjungi dan tidak jauh dari rumah sakit, suasana yang tenang dan mendukung
sebagai tempat untuk beristirahat. Sebagai perbandingan, Konferensi Para Uskup
Negara Spanyol menetapkan sistem Social Security for Clerics, imam yang pensiun
mendapat kehidupan yang pantas dan sejajar dengan peraturan pemerintah bagi
seorang warga negara yang pensiun. Oleh karena itu, sudah saatnya dan merupakan
kewajiban Uskup diosesan memikirkan imamnya yang akan pensiun (bdk CD, 31; ES
I, 20, § 3). Semoga.
RD. D. GUSTI BAGUS KUSUMAWANTA
http://www.mirifica.net/artList.php?kid=23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar