(Relevansi kann. 144, §2; 1108, 1111; 1686)
Tata peneguhan kanonik
Tata peneguhan sah bagi orang Katolik adalah tata peneguhan
kanonik, kecuali jika dibebaskan dari kewajiban untuk menepatinya. Cacat dalam
tata penguhan kanonik bisa terjadi jika hanya ada satu saksi atau jika sang
peneguh (pastor) tidak mempunyai kewenangan, kendati bisa disembuhkan oleh
hukum dengan alasan kekeliruan biasa berdasarkan kan. 144,§ 2: "Norma yang
sama (dalam kekeliruan umum) diterapkan pada kewenangan-kewenangan yang
disebutkan dalam kan. 882, 883, 966 dan 1111,§ 1".
Dalam perkawinan campur beda Agama atau beda Gereja, jika
pihak Katolik mendapat dispensasi dari tata peneguhan kanonik, suatu tata
peneguhan tertentu yang bersifat publik tetap dituntut. Tetapi bisa terjadi
cacat dalam tata peneguhan, jika misalnya suatu pasangan suami-isteri itu
dimana salah satu adalah baptis Katolik dan yang lain baptis non Katolik; dan
mereka telah melaksanakan tata peneguhan perkawinan secara adat atau sipil,
kemudian di Gereja dilaksanakan konvalidasi perkawinan yang upacaranya hanya
dianggap sebagai berkat saja, sebagaimana sering terjadi.
Kuasa tidak sah dalam perkawinan lewat wali (bdk. kan 1105)
Bisa saja suatu kali muncul sebuah kasus semacam ini, yakni
dimana orang yang ditunjuk menjadi wali tidak menjalankan tugasnya dan
digantikan oleh seseorang.
Kanisius Kramat menikah dengan Kanisia Sentiong, karena
Kramat bekerja di luar negeri, dia berniat menikahi Sentiong dengan perantaraan
seorang wali, sehingga mereka bisa hidup bersama sebagai suami-isteri. Kramat
memilih Vincentius Lima sebagai wakilnya. Oleh karena itu dia membuat sebuah
surat kuasa seturut hukum. Namun, sebelum perkawinan berlangsung keluarga
Kramat bertengkar dengan keluarga Vicentius Lima. Akibatnya keluarga Kramat
memerhitungkan hal itu dan menunjuk orang lain untuk bertindak sebagai wali
dari Kramat. Pada hari perkawinan Vincentius Lima wakil yang dipilih Kramat
diganti orang lain, Pastor yang meneguhkan perkawinan ditipu tentang identitas
pengganti baru ini dan perkawinan tetap dilaksanakan. Baru setelah beberapa
tahun kemudian perkawinan Kramat dengan Sentiong bubar. Semua hal itu
diketahui, ketika seorang pastor mendengarkan sejarah perkara itu bertanya
apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi pada saat perkawinan dilangsungkan?
Tidak adanya tata peneguhan kanonik
Perkara semacam itu sering terjadi dan terjadi karena
bermacam-macam alasan misalnya, pihak Katolik telah lama mogok, atau tidak
mengingini perkawinan gerejawi atau tidak mengetahui keharusan mentaati tata
peneguhan kanonik. Contoh: Katarina Cikini yang lahir dari keluarga tidak
baptis , pada waktu kecil dibaptis dalam Gereja Katolik, karena kedua orang
tuanya adalah katekumen. Mereka tidak bertahan lama dan Katarina Cikini tumbuh
dalam agama tradisional masyarakat tempat ia hidup. Dia menikah dengan Raden
Gemblung tidak baptis, dan perkawinan dilangsungkan menurut hukum adat.
Perkawinan itu akhirnya bubar, lalu Katarina Cikini mulai ke Gereja karena dia
suka menyanyi dalam koor di Gereja. Di sana dia berjumpa dengan seorang
laki-laki Katolik yang ingin menikahinya. Pastor membuat penyelidikan dan fakta
tentang pembaptisan Katarina Cikini diketemukan bahwa adanya ketidakabsahan
perkawinannya dengan Raden Gemblung, karena tidak adanya tata peneguhan
kanonik.
Penanganan perkara
Perkara-perkara yang menyangkut adanya cacat dalam tata
peneguhan perkawinan ditangani lewat proses pengadilan (bdk. kan. 1671), tetapi
perkara tidak adanya tata peneguhan kanonik diurus secara administratif dan
menjadi bagian penyelidikan sebelum perkawinan. Pastor yang bertanggungjawab
untuk menangani perkara tersebut harus melihat apakah semuanya sudah
dipersiapkan ataukah belum, untuk pembuktian adanya cacat atau tidak adanya
tata peneguhan perkawinan. Penyelidikan yang sungguh-sungguh harus diadakan
untuk membuktikan apakah tata peneguhan kanonik itu diberi dispensasi atau
tidak. Jika dipandang perlu, bisa dipanggil saksi-saksi dan ditanya di bawah
sumpah. Pihak lain dari perkawinan lama tidak harus disebut. Perkara semacam
itu diurus dalam KHK 1983, kanon 1686 dan seterusnya. Izin yang diberikan oleh
ordinaris wilayah untuk perkawinan baru harus dicatat dalam formulir
penyelidikan kanonik.
http://www.mirifica.net/artList.php?kid=23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar