Santo Tiburtius, Valerianus, Maximus, Martir
Ketiga pemuda ini dikenal sebagai pahlawan iman Kristen yang dibunuh
oleh penguasa Romawi di kota Roma. Jenazah mereka di kuburkan di
Katakombe Praetaxtatus, Roma sekitar 229 / 230.
Tiburtius adalah adik kandung Valerianus. Kisah tentang keanggotaan mereka dalam gereja hingga menjadi Martir dihubungkan dengan Sata Sesilia. Sesilia adalah tunangan Valerianus, pemuda yang belum menganut agama Kristen. Ketika hari pernikahan mereka tiba, Sesilia dengan tulus membisikkan kepada Valerianus, calon suaminya agar membatalkan saja pernikahan mereka karena ia telah menjanjikan kemurnian dirinya kepada Tuhan. Valerianus yang tulus hati itu mengindahkan permohonan Sesilia, calon istrinya. Ia tidak marah, malah sebaliknya meminta Sesilia agar mengajari dia iman Kristen dan mengusahakan pembaptisannya. Demikian pula Tiburtius adik Valerianus.
Setelah menjadi Kristen, kedua kakak-beradik ini dengan giat menyebarkan iman Kristen dan rajin menguburkan jenazah para Martir yang dibunuh. Melihat itu, penguasa Romawi menangkap dan menyiksa mereka. Pada peristiwa itu, Maximus seorang tentara Romawi yang turut dalam penyiksaan atas diri Tiburtius dan Valerianus, terharu dan kagum akan ketahanan dan ketabahan hati kedua bersaudara itu. Lalu ia pun dengan berani mengaku dirinya sebagai seorang murid Kristus. Akibatnya ia pun disiksa dan dibunuh bersama Tiburtius dan Valerianus.
Tiburtius adalah adik kandung Valerianus. Kisah tentang keanggotaan mereka dalam gereja hingga menjadi Martir dihubungkan dengan Sata Sesilia. Sesilia adalah tunangan Valerianus, pemuda yang belum menganut agama Kristen. Ketika hari pernikahan mereka tiba, Sesilia dengan tulus membisikkan kepada Valerianus, calon suaminya agar membatalkan saja pernikahan mereka karena ia telah menjanjikan kemurnian dirinya kepada Tuhan. Valerianus yang tulus hati itu mengindahkan permohonan Sesilia, calon istrinya. Ia tidak marah, malah sebaliknya meminta Sesilia agar mengajari dia iman Kristen dan mengusahakan pembaptisannya. Demikian pula Tiburtius adik Valerianus.
Setelah menjadi Kristen, kedua kakak-beradik ini dengan giat menyebarkan iman Kristen dan rajin menguburkan jenazah para Martir yang dibunuh. Melihat itu, penguasa Romawi menangkap dan menyiksa mereka. Pada peristiwa itu, Maximus seorang tentara Romawi yang turut dalam penyiksaan atas diri Tiburtius dan Valerianus, terharu dan kagum akan ketahanan dan ketabahan hati kedua bersaudara itu. Lalu ia pun dengan berani mengaku dirinya sebagai seorang murid Kristus. Akibatnya ia pun disiksa dan dibunuh bersama Tiburtius dan Valerianus.
Santa Lidwina, Pengaku Iman
Lidwina lahir di Shiedam, negeri Belanda pada hari Minggu Palem tahun
1380. Orangtuanya dikenal sebagai orang beriman yang saleh dan taat
agama. Ayahnya, seorang penjaga malam yang setia pada tugasnya. Dalam
keluarganya, ia anak wanita satu-satunya. Ia cantik sekali. Sering ia
merasa terganggu oleh kecantikannya, dan karena itu ia meminta kepada
Tuhan untuk mengurangi kecantikannya. Semenjak kecil ia sudah tidak
tertarik pada kekayaan duniawi. Sejak berumur 15 tahun, ia sudah
mengucapkan kaul kemurnian. Pada musim dingin yang hebat tahun
1395-1396, ia menderita sakit keras tetapi segera sembuh kembali ketika
ia diundang kawan-kawannya bermain ski disebuah bendungan salju. Namun
sial sekali nasibnya: ia terjatuh dan patah tulang rusuknya. Ia
menjadi lumpuh dan selama 38 tahun hanya hidup dari komuni kudus saja.
Sementara itu ia masih juga menderita berbagai rasa sakit di sekujur
tubuhnya hingga tidak bisa berbaring dan tidur dengan nyenyak. Dokter
pun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Pada masa itu Lidwina sendiri
masih jauh dari panggilan hidup sucinya dan menginginkan kesembuhan
seperti anak-anak lain.
Cahaya hidup baru terbit ketika pastor, bapa rohaninya: Yohanes Pot,
mengunjunginya secara teratur. Pastor itu memberinya satu nasehat yang
sederhana tetapi tepat, yaitu supaya Lidwina sabar dan mempersatukan
penderitaannya dengan penderitaan Kristus. Sejak itu ia terhibur dan
mulai saat serta berusaha merenungkan sengsara Kristus. Dan setelah
tiga tahun ia merasa terpanggil untuk menderita bagi dosa-dosa orang
lain. Sejak saat itu ia tidak ingin lagi akan kesembuhan sebagaimana
yang dikehendakinya dahulu. Ia mulai bermatiraga dan tidak mau lagi
dirawat. Tidurnya cukup diatas sebuah papan keras. Dengan sabar ia
menggeletak di papan itu dan hidup dari komuni kudus yang diantarkan
oleh pastornya. Hidup rohaninya pun semakin berkembang sehingga Tuhan
menambahkan berbagai kekuatan baginya dalam menghadapi cobaan-cobaan
lain yang lebih besar seperti serangan penyakit dan kehilangan
kecantikannya.
Sakitnya yang aneh itu menggemparkan semua penduduk daerah itu; sampai-sampai Raja William VI bersama Margaretha Burgundia mengirimkan dokter pribadinya: Godfried de la Haye untuk merawatnya. Anehnya, dari luka-lukanya keluarlah bau harum; dan walaupun kamarnya tidak diterangi lampu, namun terang benderang karena cahaya ajaib dari surga. Masih banyak mukzijat lainnya selama ia menderita sakit.
Sakitnya yang aneh itu menggemparkan semua penduduk daerah itu; sampai-sampai Raja William VI bersama Margaretha Burgundia mengirimkan dokter pribadinya: Godfried de la Haye untuk merawatnya. Anehnya, dari luka-lukanya keluarlah bau harum; dan walaupun kamarnya tidak diterangi lampu, namun terang benderang karena cahaya ajaib dari surga. Masih banyak mukzijat lainnya selama ia menderita sakit.
Kira-kira pada tahun 1407 ia mengalami ekstase dan pengalaman-pengalaman
mistik lainnya. Lidwina akhirnya meninggal dunia pada tahun 1433.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar