Santo Gregorius dari Nyssa, Uskup dan Bapa Gereja
Gregorius lahir di Kaesarea sekitar tahun 330. Keluarganya sungguh
keluarga yang terberkati. Ibunya seorang martir. Dua orang kakaknya
adalah Basilius Agung dan Petrus Sebaste, digelari Kudus oleh Gereja.
Demikian juga Makrina, saudarinya yang tertua. Gregorius dikenal aktif
di dalam masalah-masalah gereja dan berpengaruh besar di dalam beberapa
Konsili dan sinode.
Ia
dididik oleh kakaknya Basilius Agung. Kemudian ia menikah dengan
Theosebia dan dianugerahi beberapa anak. Sebagai aktifis Gereja, ia
diberi tugas sebagai lektor. Tetapi tugas suci ini ditinggalkannya
karena mulai tertarik pada pekerjaan sebagai pengajar ilmu retorika.
Pekerjaan inipun ditinggalkannya lagi karena dianggap tidak berkaitan
sedikitpun dengan hal-hal keagamaan. Karena ketidakpuasannya itu dan
lebih-lebih karena pengaruh kakaknya, ia kembali aktif di dalam
tugas-tugas yang berkaitan dengan urusan-urusan keagamaan. Dalam
menjalankan tugas itu, hatinya tergerak untuk mengabdikan dirinya
kepada Tuhan. Ia lalu memutuskan untuk menjadi Imam. Pada masa itu,
kehidupan selibat imam-imam belum menjadi suatu kewajiban dalam hukum
gereja sehingga perkawinannya dengan Theosebia tidaklah menjadi
halangan baginya untuk menerima tabhisan imamat.
Atas pengaruh dan bujukan kakaknya Basilius, ia kemudian di tabhiskan
menjadi Uskup di Nyssa, wilayah propinsi Kapadokia, Asia kecil pada
tahun 372. Dengan keahliannya dan imannya yang kokoh, ia menjadi
seorang pembela ulung ajaran para Rasul terhadap rongrongan para
penganut Arianisme. Karena itu atas desakan para pengikut Arianisme,
Demothenes, gubernur propinsi Pontus, mengusir dia dari keuskupannya.
Ia baru kembali memimpin keuskupannya setelah Demothenes meninggal
dunia pada tahun 378.
Pada konsili di Antiokia pada tahun 379 yang diadakan untuk mengutuk
kaum Arian dan kesalahan-kesalahan kaum Meletian, Gregorius tampil
sangat menonjol dengan pandangan-pandangannya yang benar. Ia kemudian
diutus oleh semua Uskup Timur untuk melawan kaum Arian yang menyebarkan
ajaran-ajarannya yang salah di gereja-gereja Palestina dan Arab. Ketika
berada di Palestina, ia terkejut dengan sikap-sikap tidak terpuji para
penziarah yang mengunjungi tempat-tempat suci dimana Yesus lahir,
hidup dan wafat. Ketidakpuasan dan kemarahannya dituangkan dalam
tulisan-tulisannya. Di dalamnya ia mengingatkan semua orang Kristen
untuk menaruh hormat pada tempat-tempat suci itu. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa kegiatan ziarah bukanlah jaminan untuk mendapatkan
hidup suci dan tidak dengan sendirinya mendatangkan keselamatan bagi
seorang penziarah.
Gregorius dikenal sebagai Bapa Gereja yang banyak menulis.
Tulisan-tulisannya berisi pandangan-pandangan iman yang benar yang
diperkuat pandangan filosofis yang berkembang pada masa itu.
Tulisan-tulisannya yang berhubungan dengan Kitab Suci menggunakan metode
allegoris yang dikembangkan oleh Origenes. Tulisannya tentang Trinitas
dilukiskan dengan memanfaatkan teori ide-ide dari Plato.
Khotbah-khotbah nya sangat disenangi banyak orang karena berisi
pandangan-pandangan iman yang sesuai dengan ajaran para rasul.
Pada konsili di Konstantinopel pada tahun 381,
Gregorius ikut aktif memberi pandangan-pandangannya tentang ajaran iman
yang benar. Ia dianggap sebagai tiang agung pengajaran iman yang
benar. Ia meninggal pada tahun 394.
Santa Fransiska Romana, Janda
Fransiska lahir di Roma pada tahun 1384. Orangtuanya Paulus dan
Yakobella Buso, mendidiknya dengan sangat baik dalam iman Kristiani dan
perhatian kepada orang-orang yang berada di lingkungan sekitar. Dengan
begitu, Fransiska bertumbuh dewasa menjadi orang yang beriman dan
penyayang orang-orang kecil. Cita-citanya adalah menjadi seorang
biarawati. Tetapi karena suatu pertimbangan khusus, kedua orangtuanya
menikahkan dia dengan seorang pemuda bangsawan bernama Lorenzo de
Ponziani. Dari perkawinan ini, Fransiska dianugerahi beberapa orang
anak. Hidup perkawinan mereka yang berlangsung selama 40 tahun lamanya
diwarnai dengan saling pengertian dan cinta kasih yang mendalam.
Prinsip hidup yang dipegangnya dengan teguh dalam menjalankan tugas
sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga ialah: "Seorang istri dan
ibu rumah tangga haruslah meninggalkan Allah di gereja dan mencari-Nya
di dalam urusan-urusan rumah tangga dan dalam pengalaman hidup
sehari-hari."
Hubungannya yang erat dengan Tuhan melalui doa-doanya menumbuhkan dalam
dirinya suatu kepekaan dan keprihatinan besar pada kondisi hidup
orang-orang miskin dan sakit. Karena itu, sambil menjalankan tugas
sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, ia bersama adik iparnya
Vannoza senantiasa menyempatkan diri membantu dan mengunjungi
orang-orang yang malang itu. Banyak hartanya diberikan kepada
orang-orang itu. Selama masa kelaparan dan wabah penyakit pes
merajalela di Roma pada tahun 1413, ia menyumbangkan harta kekayaannya
kepada orang-orang miskin. Ia merombak sebagian rumahnya menjadi suatu
rumah sakit untuk menampung orang-orang sakit yang terserang wabah pes.
Untuk meringakan bebannya ia juga banyak meminta bantuan pada
tetangga-tetangganya. Tetapi permintaan bantuan itu selalu ditanggapi
dengan cara-cara yang menyakitkan hati.
Ketika terjadi perang di kota Roma, Lorenzo suaminya ditangkap dan
diasingkan, tanah dan hartanya dijarah, dan anaknya yang sulung dibawa
sebagai sandera. Peristiwa ini sungguh merupakan suatu pengalaman pahit
bagi Fransiska. Ia menanggapi semuanya ini dengan tabah dan pasrah pada
Tuhan, sambil tetap tinggal dirumahnya yang telah porak poranda itu.
Sewaktu keadaan ini telah pulih kembali dan Lorenzo
dan anaknya kembali ke rumah, Fransiska bersama beberapa rekannya
mendirikan sebuah komunitas religius, semacam ‘kongregasi" untuk
meningkatkan karya-karya amalnya. Komunitas religius ini berafiliasi
pada Ordo Benediktin dan dibaktikan pada hidup doa dan karya-karya
amal. Tentang kehidupan doa, Fransiska di kenal sebagai seorang pendoa,
seorang mistika pada abad ke-15, dan model bagi ibu-ibu rumah tangga
di Roma. Ia biasanya berdoa hingga jauh malam dan mengalami banyak
penglihatan ajaib serta mendapat banyak rahmat istimewa.
Setelah Lorenzo meninggal dunia dan anak-anaknya meningkat dewasa. Fransiska masuk biara yang telah didirikannya. Ia diangkat menjadi pemimpin biara hingga hari kematiannya pada tanggal 9 Maret 1440. Dengan memperhatikan seluruh cara hidupnya dan berbagai penglihatan yang dialaminya, gereja menyatakannya sebagai Kudus pada tahun 1608.
Setelah Lorenzo meninggal dunia dan anak-anaknya meningkat dewasa. Fransiska masuk biara yang telah didirikannya. Ia diangkat menjadi pemimpin biara hingga hari kematiannya pada tanggal 9 Maret 1440. Dengan memperhatikan seluruh cara hidupnya dan berbagai penglihatan yang dialaminya, gereja menyatakannya sebagai Kudus pada tahun 1608.
Empat puluh Martir dari Sebaste
Diantara serdadu-serdadu Romawi ada sejumlah besar serdadu yang
beragama Kristen. Mereka inilah yang menjadi perintis Injil Kristus dan
saksi-saksi iman Kristiani di negeri-negeri yang jauh dari Roma.
Yang termasyur diantara mereka yang beragama Kristen itu adalah ‘Keempatpuluh serdadu dari Sebaste", negeri Armenia. Mereka adalah anggota Legiun XII, yang disebut Legio Fulminata, Pasukan Gerak Cepat. Pasukan ini ditempatkan jauh dari kota Sebaste di perbatasan kekaisaran Romawi. Tugas mereka sungguh berat karena harus menghadang gempuran dari suku-suku Timur yang terkenal ganas dan berani. Demi mencapai keberhasilan, komandan pasukan mewajibkan setiap serdadu mengambil bagian dalam upacara kurban kepada para dewa untuk memohon bantuan dan perlindungan. Kewajiban ini ditolak tegas oleh keempatpuluh serdadu yang beragama Kristen tersebut. Penolakan itu ditindak tegas oleh komandan pasukan. Sambil menantikan putusan hukuman mati dari wakil kaisar, mereka dipenjarakan dan dijaga dengan ketat.
Ketika itu musim dingin, keempatpuluh serdadu Kristen itu digiring ke sebuah danau yang sangat dingin airnya dan sudah membeku. Disana mereka ditelanjangi dan disuruh berbaring diatas air danau yang sudah membeku itu. Dalam penderitaan yang hebat itu, keempat puluh serdadu itu meminta bantuan Tuhan agar tetap teguh dalam imannya: "Ya Tuhan, kami percaya kepada-Mu. Kami disiksa karena iman kepada-Mu. Kiranya kami semua dapat dipermahkotai dalam kerajaan-Mu."
Yang termasyur diantara mereka yang beragama Kristen itu adalah ‘Keempatpuluh serdadu dari Sebaste", negeri Armenia. Mereka adalah anggota Legiun XII, yang disebut Legio Fulminata, Pasukan Gerak Cepat. Pasukan ini ditempatkan jauh dari kota Sebaste di perbatasan kekaisaran Romawi. Tugas mereka sungguh berat karena harus menghadang gempuran dari suku-suku Timur yang terkenal ganas dan berani. Demi mencapai keberhasilan, komandan pasukan mewajibkan setiap serdadu mengambil bagian dalam upacara kurban kepada para dewa untuk memohon bantuan dan perlindungan. Kewajiban ini ditolak tegas oleh keempatpuluh serdadu yang beragama Kristen tersebut. Penolakan itu ditindak tegas oleh komandan pasukan. Sambil menantikan putusan hukuman mati dari wakil kaisar, mereka dipenjarakan dan dijaga dengan ketat.
Ketika itu musim dingin, keempatpuluh serdadu Kristen itu digiring ke sebuah danau yang sangat dingin airnya dan sudah membeku. Disana mereka ditelanjangi dan disuruh berbaring diatas air danau yang sudah membeku itu. Dalam penderitaan yang hebat itu, keempat puluh serdadu itu meminta bantuan Tuhan agar tetap teguh dalam imannya: "Ya Tuhan, kami percaya kepada-Mu. Kami disiksa karena iman kepada-Mu. Kiranya kami semua dapat dipermahkotai dalam kerajaan-Mu."
Seorang diantara mereka mutrad dari imannya karena tidak tahan terhadap
penderitaan. Meskipun demikian ia pun tidak terhindar dari bahaya
kematian. Ia juga dibunuh di atas tungku api sebagai kurban bakaran.
Sementara itu, seorang serdadu yang bukan Kristen mengalami suatu
penglihatan ajaib. Ia melihat di langit tersedia 40 buah mahkota bagi
keempatpuluh serdadu itu. Tigapuluh sembilan mahkota sudah dipakai oleh
tigapuluh sembilan serdadu yang setiawan itu; sedangkan satu mahkota
belum di pakai. Dalam terang Ilahi, mengertilah serdadu itu bahwa
mahkota yang tidak dipakai itu disediakan baginya. Yakin akan
penglihatan itu, ia segera membuka pakaiannya dan menggabungkan diri
kembali dirinya dengan ke tigapuluh sembilan martir rekannya. Dengan
demikian, genaplah kembali jumlah serdadu itu menjadi 40 orang. Mereka
dengan gagah berani menanggung penderitaan karena kedinginan. Keesokan
harinya, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, semuanya diseret
ke dalam api unggun hingga mati terbakar. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 320.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar