Seri Dokumen Gerejawi No. 58 B
ETIKA DALAM KOMUNIKASI
(Ethics in Communications)
Dipublikasikan oleh:
DEWAN KEPAUSAN UNTUK KOMUNIKASI SOSIAL
Vatikan, 4 Juni 2000
Alih Bahasa: Mgr. Hadiwikarta
DEPARTEMEN DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KWI
Jakarta, Juli 2000
1.Kebaikan yang besar dan kejahatan yang besar berasal dari cara orang menggunakan media komunikasi sosial. Meskipun secara khas/tipikal dikatakan dan kita kerap kali akan mengatakannya di sini – bahwa “media “ menjadikan ini atau itu, media bukanlah kekuatan buta dari kodrat yang di luarkontrol manusia. Karena meskipun tindakan-tindakan berkomunikasi kerap menimbulkan akibat-akibatyang tidak dimaksudkan, namun manusialah yang memilih apakah akan menggunakan media untuk maksud-maksud baik atau maksud-maksud jahat, dengan cara yang baik atau cara yang jahat.Pilihan-pilihan tadi, yang merupakan hal pokok dalam persoalan-persoalan etika, dilakukan bukan hanya oleh mereka yang menerima komunikasi, yaitu para pemirsa, pendengar, pembaca - tapi lebih - lebih oleh mereka yang mengawasi alat-alat komunikasi sosial dan menentukan strukturnya, kebijakannya dan isinya. Termasuk dalam kelompok ini ialah para pejabat dan para eksekutif badan hukum, para anggota badan pengurus,para pemilik, para penerbit dan manajer siaran, para editor, para direktur pemberitaan, para produser, para penulis, para koresponden, dan lain-lain. Untuk mereka ini persoalan etika menjadi sangat penting: Apakah media digunakan untuk hal yang baik atau hal yang jahat?
2. Dampak dari komunikasi sosial bukannya dilebih-lebihkan. Di sini orang berhubungan dengan orang lain serta dengan peristiwa-peristiwa, membentuk pendapat mereka serta nilai-nilai yang mereka anut. Mereka tidak hanya meneruskan dan menerima informasi dan gagasan-gagasan lewat alat-alat tadi tapi kerap kali mereka mengalami penghayatan itu sendiri sebagai suatu pengalaman bermedia (bdk Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Aetatis Novae, 2) Perubahan tehnologi yang terjadi dengan cepat menjadikan media komunikasi menjadi kian menyusup ke mana-mana dan mempunyai kekuatan yang besar. “Datangnya masyarakat informasi adalah suatu revolusi budaya yang reel” (Dewan Kepausan untuk komunikasi sosial, Menuju ke suatu Pendekatan Pastoral terhadap Kebudayaan, 9); dan pembaharuan-pembaharuan yang mengagumkan yang terjadi pada abad kedua puluh mungkin hanya merupakan prolog terhadap apa yang akan dibawa oleh abad baru ini. Luasnya dan aneka ragamnya media yang dapat dijangkau oleh orang-orang di negara-negara yang makmur sunguh-sungguh mentakjubkan: Buku-buku dan majalah-majalah, televisi dan radio, film dan video, rekaman audio, komunikasi elektronik yang dipancarkan lewat gelombang udara, dengan melalui kabel dan satelit, lewat Internet. Isi dari banjir informasi yang cepat ini meliputi berita-berita yang berat maupun yang bersifat hiburan semata-mata, yang berupa doa tapi juga ada yang bersifat porno, yang bersifat renungan tapi juga ada yang menampilkan kekerasan. Tergantung dari bagaimanakah mereka menggunakan media, orang-orang dapat menjadi semakin berkembang dalam simpati dan perhatiannya pada orang lain atau menjadi terisolasi dalam suatu dunia yang berisikan rangsangan-rangsangan yang bersifat egois dan mementingkan diri sendiri, yang akibatnya mirip dengan kecanduan narkotik. Bahkan mereka yang menghindari media tak dapat menghindari hubungan orang-orang lain yang sangat dipengaruhi oleh media komunikasi.
3. Di samping alasan-alasan tadi, Gereja mempunyai alasan mengapa Gereja berminat terhadap sarana komunikasi sosial. Dipandang dari cahaya iman, sejarah komunikasi umat manusia,dapat dilihat sebagai suatu perjalanan panjang dari Babel, yg merupakan tempat dan simbol dari runtuhnya komunikasi ( lih. Kej. 11: 4-8), hingga ke Pentekosta dan kurnia bahasa-bahasa (lih. Kis. 2: 5- 11) – Komunikasi dipulihkan oleh kekuatan Roh yang diutus oleh Putera. Diutus ke dunia untuk mewartakan Kabar Baik (lih. Mat. 28:19-20; Mark. 16:15), Gereja mempunyai perutusan untuk mewartakan Injil hingga akhir jaman. Pada jaman sekarang ini Gereja menyadari bahwa tugas ini menuntut penggunaan media ( lih. Konsili Vatikan Kedua, Inter Mirifica, 3; Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 45; Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, 37; Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Communio et Progressio, 126 –134, Aetatis Novae, 11 ) Gereja juga menyadari bahwa dirinya adalah suatu persekutuan, suatu perkutuan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat yang merayakan Ekaristi, ”yang berakar di dalam dan mencerminkan persekutuan Tritunggal” (Aetatis Novae, 10; lih. Kongregasi untuk Pengajaran Iman, Beberapa segi dari Gereja yang Dimengerti sebagai Persekutuan) Memang sebenarnya semua komunikasi manusia berdasarkan pada komunikasi antara Bapa, Putera dan Roh. Tapi lebih dari itu, persekutuan Tritunggal menjangkau ke luar kepada umat manusia : Putera adalah Sabda, yang secara abadi “disabdakan” oleh Bapa; dalam dan melalui Yesus Kristus, Putera dan Sabda yang menjadi manusia, Allah mengkomunikasi Diri-Nya dan Penebusan- Nya kepada para pria dan wanita” Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada jaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaran Putera-Nya” ( Ibr. 1: 1-2 ). Komunikasi di dalam dan oleh Gereja menemukan titik pangkalnya dalam persekutuan kasih di antara pribadi-pribadi ilahi dan komunikasi mereka dengan kita.
4. Pendekatan Gereja kepada sarana komunikasi sosial pada pokoknya bersifat positip, memberikan dukungan.Gereja bukan hanya menghakimi dan mengutuk, melainkan Gereja melihat alat-alat ini bukan hanya hasil kejeniusan umat manusia tapi juga merupakan anugerah besar dari Allah dan merupakan tandatanda jaman (lih. Inter Mirifica,1; Evangelii Nuntiandi, 45; Redemptoris Missio, 37). Gereja ingin mendukung mereka yang secara profesional terlibat dalam komunikasi dengan memberikan prinsip-prinsip yang positip untuk membantu mereka dalam karya mereka, seraya mendorong suatu dialog, di mana semua pihak yang berminat pada jaman sekarang ini berarti hampir setiap orang – dapat berpartisipasi. Tujuan-tujuan tersebut yang melatar belakangi dokumen yang sekarang ini. Kami katakan sekali lagi: Media tak bisa melakukan sesuatu sendirian, sebab hanyalah instrumen, alat-alat, yang digunakan oleh orang-orang yang memilih untuk menggunakannya. Dalam merefleksikan sarana-sarana komunikasi sosial, kita harus dengan jujur menghadapi pertanyaan “paling hakiki” yang timbul karena kemajuan tehnologi: apakah sebagai salah satu akibatnya pribadi manusia “menjadi sungguhsungguh lebih baik, yaitu lebih matang secara rohaniah,lebih menyadari martabat kemanusiaannya, lebih bertanggung jawab,lebih terbuka kepada orang lain, lebih-lebih yang paling membutuhkan dan paling lemah, dan lebih siap untuk memberikan dan membantu semua orang” ( Paus Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, 15 ). Kami mengandaikan bahwa sebagian besar orang yang terlibat dalam komunikasi sosial dalam kedudukan apapun adalah individu-individu yang punya kesadaran yang ingin melakukan hal yang benar Para Pejabat pemerintahan, para pembuat kebijakan dan para eksekutif badan-badan hukum berkehendak untuk menghormati dan memajukan kepentingan umum seusai dengan pemahaman mereka mengenai hal ini. Para pembaca dan para pendengar serta para pemirsa ingin menggunakan waktu mereka dengan baik demi untuk pertumbuhan pribadi dan perkembangan pribadi sehingga mereka dapat hidup lebih bahagia dan lebih produktip. Para orang tua mendambakan bahwa apa yang masuk ke dalam rumah mereka lewat media disenangi oleh anak-anak. Para komunikator yang paling profesional ingin menggunakan bakat-bakat mereka untuk melayani keluarga manusia, dan sangat terganggu dengan semakin kuatnya tekanan-tekanan ekonomis dan ideologis untuk menurunkan standar etika yang ada dalam banyak sektor media.Isi dari pilihan-pilihan yang begitu beraneka macam yang dilakukan oleh semua orang tadi yang berkaitan dengan media, berlainan antara satu kelompok dengan kelompok lain serta antara satu individu dengan individu lainnya, namun semua pilihan tadi mempunyai bobot etika dan tunduk terhadap penilaian etis. Untuk bisa memilih dengan tepat, maka mereka yang memilih perlu “tahu prinsip-prinsip tatanan moral dan menerapkannya dengan setia” ( Inter Mirifica, 4 )
5. Gereja menyampaikan beberapa hal dalam percakapan ini.Gereja memiliki tradisi kebijakan moral yang lama,yang berakar dalam wahyu ilahi dan refleksimanusiawi (lih. Paus Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, 36–48 ). Sebagian darinya ialah sekumpulan ajaransosial gereja yang pokok dan berkembang, yang orientasi teologisnya merupakan suatu koreksi yangpenting terhadap “pemecahan yang bersifat atheistis”, yang merampas dari manusia dimensi dasariahnyayaitu dimensi rohani, dan menggantinya dengan pemecahan-pemecahan yang mengijinkan semuanya danberifat konsumptip, yang dengan macam-macam dalih berusaha untuk meyakinkan manusia bahwa diabebas dari dari setiap hukum bahkan dari Allah sendiri” (Paus Yohanes Paulua II, Centesimus Annus, 55) Lebih dari sekedar memberikan pernilaian, tradisi ini memberikan dirinya untuk melayani media. Misalnya, “budaya kebijaksanaan Gereja dapat menyelamatkan budaya informasi dari media dari menjadi hanya sekedar kumpulan fakta-fakta yang tidak ada artinya” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Komunikasi yang ke 33, 1999).Gereja juga membawa hal lainnya dalam percakapan ini. Sumbangan khusus dari Gereja kepada persoalan manusia, termasuk dunia komunikasi sosial ialah “visinya mengenai martabat manusia yang diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sabda yang menjadi manusia” ( Centesimus Annus, 47 ). Menurut kata-kata Konsili Vatikan Kedua, “Kristus Tuhan, Kristus Adam baru,dalam hubungannya dengan misteri Bapa dan kasih-Nya, dengan sepenuh-penuhnya mewahyukan kepada manusia DiriNya dan memberikan terang kepada panggilannya yang luhur (Gaudium et Spes, 22 ).
II: KOMUNIKASI SOSIAL YANG MENGABDI PRIBADI-PRIBADI MANUSIA
6. Mengikuti Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes, no 30 –31), maka Instruksi Pastoral mengenai Komunikasi Sosial Communio et Progressio memperjelas bahwa media dipanggil untuk mengabdi martabat manusia dengan membantu orang-orang hidup dengan baik dan berfungsi sebagai pribadi-pribadi dalam komunitas. Media melakukan hal ini dengan mendorong para pria dan wanita untuk menyadari martabat mereka, masuk dalam pikiran dan perasaan orang lain, memupuk perasaan tanggung jawab timbal balik, dan bertumb uh dalam kebebasan pribadi, menghormati kebebasan orang lain, dan mampu untuk berdialog. Komunikasi sosial mempunyai kekuatan luar biasa untuk memajukan kebahagiaan manusia dan pemenuhannya. Tanpa berpretensi untuk melakukan lebih dari hanya sekedar suatu panorama, kami mencatat di sini, seperti telah kami lakukan di tempat lain ( lih. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Etika dalam Periklanan, 4–8) beberapa manfaat ekonomis, politis, budaya, pendidikan dan manfaat keagamaan.
7. Ekonomis. Pasar bukanlah suatu norma moralitas atau salah sumber nilai moral, dan ekonomi pasar dapat disalah gunakan; tetapi pasar dapat mengabdi pribadi manusia (lih. Centesimus Annus, 34), dan media memainkan peranan yang penting dalam suatu ekonomi pasar. Komunikasi sosial mendukung bisnis dan perdagangan, membantu memacu pertumbuhan ekonomi, pekerjaan, dan kemakmuran, mendorong untuk diadakannya perbaikan-perbaikan dalam kualitas dari barang-barang yang ada dan jasa yang ada serta mengembangkan barang dan jasa yang baru, memupuk kompetisi yang penuh tanggung jawab yang mengabdi kepentingan umum,dan memungkinkan orang-orang melakukan pilihan-pilihan yang telah diinformasikan dengan menceriterakan kepada mereka mengenai tersedianya dan sifat-sifat dari produk yang dihasilkan.Scara ringkas dapat dikatakan bahwa, sistem ekonomi nasional dan internasional yang kompleks pada jaman sekarang ini tidak dapat berfungsi tanpa media. Singkirkanlah media, maka struktur-struktur ekonomi yang penting akan runtuh, yang akan menimbulkan kerugian kepada orang-orang yang tak terhitung jumlahnya serta kepada masyarakat.
8. Politis. Komunikasi sosial menguntungkan masyarakat dengan memudahkan partisipasi dari warganegara yang telah mendapat informasi untuk ambil bagian dalam proses politik. Media mendorong orang secara bersama -sama untuk mengejar rencana-rencana dan tujuan-tujuan bersama, dengan demikian membantu dalam membentuk dan menyangga komunitas-komunitas politik yang otentik. Media mutlak dibutuhkan dalam masyarakat demokratis sekarang ini. Media memberikan informasi mengenai persoalanpersoalan dan peristiwa-peristiwa, para pemegang kekuasan serta para calon pejabat. Media memungkinkan para pemimpin berkomunikasi dengan secara cepat dan langsung dengan masyarakat umum mengenai masalah-masalah yang mendesak. Media merupakan alat yang penting untuk pertanggung jawaban, menyoroti ketidak mampuan, korupsi dan penyalah gunaan kepercayaan, sementara itu juga meminta perhatian akan tuntutan kompetensi, semangat pengabdian pada masyarakat serta dedikasi pada kewajiban.
9. Budaya. Alat-alat komunikasi sosial memberikan kemungkinan kepada orang-orang untuk menikmati kesusasteraan, drama, musik dan karya seni, yang kalau tidak ada media tidak akan tersedia bagi mereka. Dengan demikian media memajukan perkembangan manusia dalam bidang pengetahuan dan kebijaksanaan serta keindahan. Kami bicara bukan hanya mengenai penyajian karya-karya klasik dan hasil dari dunia ilmiah, tapi juga semua jenis hiburan yang disenangi rakyat serta informasi yang berguna yang mempersatukan keluarga bersama -sama, membantu orang untuk memecahkan persoalan-persoalan seharihari, membangkitkan semangat orang yang sakit, orang yang terkurung dan orang-orang tua, serta meringankan orang dari kebosanan hidup. Media juga memungkinkan kelompok-kelompok etnis untuk berkembang dan merayakan tradisi budaya mereka, membagikannya kepada orang lain, dan meneruskannya kepada generasi baru. Secara khusus mereka memperkenalkan anak-anak dan kaum muda kepada warisan budaya mereka. Para komunikator, seperti misalnya para seniman, melayani kebutuhan umum dengan menjaga dan memperkaya warisan budaya bangsa dan orang-orang (lih.Paus Yohanes Paulus II, Surat kepada para Seniman, 4)
10.Pendidikan. Media merupakan alat pendidikan yang penting dalam banyak konteks, dari sekolahan hingga ke tempat kerja, serta pada banyak tahapan hidup manusia. Anak-anak Pra-Sekolah diperkenalkan kepada dasar-dasar membaca dan berhitung, kaum muda yang mencari keahlian atau gelar, orang-orang tua yang mencari ilmu pengetahuan baru dalam usia lanjut mereka—hal-hal ini dan banyak hal lain dapat dijangkaunya dengan melalui media, sehingga mereka mendapatkan sumber-sumber pendidikan yang lengkap, kaya dan selalu berkembang. Media merupakan alat pengajaran yang baku dalam banyak sekolahan. Dan di luar tembok sekolah, alat-alat komunikasi, termasuk Internet, mengatasi hambatan-hambatan yang berasal dari jarak dan isolasi, memberikan kesempatan untuk belajar kepada para penduduk desa yang tinggal di daerah-daerah yang sangat terpencil, di pertapaan-pertapaan religius, orang yang dalam perjalanan pulang ke rumah,orangorang yang dalam penjara dan banyak yang lainnya lagi.
11. Keagamaan. Kehidupan keagamaan dari banyak orang sangatlah diperkaya lewat media. Media membawa berita-berita dan informasi mengenai peristiwa-peristiwa keagamaan, gagasan-gagasan keagamaan dan tokoh-tokoh agama; media merupakan alat untuk evangelisasi dan katekese. Dari hari ke hari media memberikan informasi, dorongan serta kesempatan untuk beribadat bagi orang-orang yang terpaksa harus tinggal di rumah mereka atau lembaga mereka. Kadang-kadang media juga memberikan sumbangan dalam memperkaya kehidupan rohani orangorang secara luar biasa. Misalnya, sejumlah besar pemirsa di seluruh dunia melihat, dan dalam arti tertentu juga ikut ambil bagian dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Gereja yang secara teratur disiarkan dari Roma lewat satelit. Dan selama bertahuntahun media telah menyampaikan kata-kata dan gambar-gambar kunjungan pastoral Bapa Suci ke pada jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya.
12. Dalam semua bingkai ini – ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, keagamaan – maupun yang lainnya, media dapat digunakan untuk membangun dan menopang komunitas manusia. Memang semua komunikasi harus terbuka kepada komunitas di antara orang-orang. “Agar menjadi saudara dan saudari,pentinglah bahwa orang saling mengenal satu sama lain. Untuk melakukan hal ini, pentinglah berkomunikasi dengan lebih luas dan lebih mendalam” (Konggregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Hidup persaudaraan dalam Komunitas, 29). Komunikasi yang melayani komunitas yang sejati “lebih dari sekedar hanya ungkapan gagasan-gagasan dan menunjukkan emosi. Dalam tingkatan yang terdalam, komunikasi berarti memberi diri dalam kasih” (Communio et Progressio, 11 ) Komunikasi yang semacam ini mencari kesejahteraan dan pemenuhan anggota-anggota komunitas dengan tetap menghormati tujuan bersama dari semua orang. Namun konsultasi dan dialog diperlukan untuk menentukan tujuan bersama ini. Oleh karena itu pentinglah bahwa pihak-pihak yang turut dalam komunikasi sosial untuk terlibat dalam dialog semacam itu dan tunduk kepada kebenaran mengenai apa yang baik. Dengan cara semacam ini media dapat memenuhi kewajibannya “untuk memberikan kesaksian mengenai kebenaran tentang hidup, tentang martabat manusia, mengenai arti sejati dari kebebasan kita dan saling ketergantungan kita” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan untuk hari Komunikasi yang ke 33, 1999).
III. KOMUNIKASI SOSIAL YANG MELANGGAR KESEJAHTERAAN PRIBADI
13. Media juga dapat digunakan untuk memutuskan komunikasi dan merugikan kesejahteraan pribadi seutuhnya: dengan mengucilkan orang atau memojokkan dan mengasingkan mereka, menarik mereka ke dalam komunitas-komunitas yang bobrok yang terorganisir, nilai-nilai yang merusak.; memupuk permusuhan dan konflik, mengutuk orang lain dan menciptakan mentalitas “kami” melawan “mereka”; menyajikan apa yang rendah dan membikin merosot dengan secara glamour, sementara itu meremehkan atau tidak mau mengakui apa yang meningkatkan dan meluhurkan; menyebarkan informasi yang keliru dan tidak memberikan informasi, merangsang persaingan dan tindakan yang kasar. Memberikan cap tertentu berdasarkan ras serta etnis, seks dan umur serta faktor-faktor lain termasuk agama adalah suatu hal yang biasa dalam media, dan ini sangat menyedihkan. Kerap kali juga komunikasi sosial mengabaikan apa yang sesungguhnya baru dan penting, termasuk kabar gembira dari Injil, dan mengkonsentrasikan diri pada halhal yang sedang menjadi mode atau yang aneh-aneh. Penyalahgunaan ada dalam setiap bidang yang baru saja disebutkan di atas.
14. Ekonomi. Media kadang-kadang digunakan untuk membangun dan mendukung sistem-sistem ekonomi yang memenuhi sikap tamak dan loba. Neo-Liberalisme merupakan salah satu contoh dalam hal ini: “Berdasarkan pada gagasan tentang manusia yang bersifat ekonomis semata-mata”, dia “melihat keuntungan dan hukum pasar sebagai satu-satunya ukuran, sehingga merugikan martabat dan sikap hormat yang harus diberikan pada indvividu dan orang-orang” (Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Amerika , 156). Dalam keadaan seperti itu maka alat-alat komunikasi sosial yang harus memberikan manfaat kepada semua orang dieksploitasi oleh segelintir orang. Proses globalisasi “dapat menciptakan keuntungan luar biasa untuk mendapatkan kemakmuran yang lebih besar” (Centesimus Annus , 58); tetapi bersamaan dengan hal itu, dan bahkan sebagai bagian dari hal tsb, beberapa bangsa dan orang mengalami pemerasan dan marjinalisasi, semakin jauh tertinggal dalam pergulatan untuk mencapai kemajuan. Kantung-kantung penderitaan yang semakin luas di tengah-tengah orang yang hidup dalam kelimpahan merupakan benih-benih irihati, penolakan, ketegangan dan konflik. Hal ini menggaris bawahi perlunya “adanya badan-badan internasional yang akan mengawasi dan mengarahkan ekonomi untuk kesejahteraan umum” (Centesimus Annus, 58) Menghadapi ketidakadilan yang berat ini, tidak cukuplah kalau para komunikator mengatakan bahwa tugas mereka hanyalah melaporkan keadaan sebagaimana adanya. Tak diragukan hal itu memang menjadi tugas mereka. Tetapi beberapa kejadian yang menyangkut penderitaan manusia kebanyakan tak dihiraukan oleh media meskipun hal-hal lain dilaporkan; dan sejauh hal ini mencerminkan suatu keputusan yang diambil oleh para komunikator, maka hal ini mencerminkan sikap selektip yang tidak boleh dipertahankan. Bahkan yang lebih mendasar lagi, struktur-struktur serta kebijakan yang diambil serta alokasi tehnologi merupakan faktor-faktor yang membantu beberapa orang “menjadi kaya informasi” dan orang lain “miskin informasi”, pada saat ketika kemakmuran bahkan hidup matinya orang tergantung dari informasi. Dengan cara-cara semacam ini maka media kerap kali membantu ketidak adilan dan ketidakseimbangan yang menimbulkan penderitaan yang mereka laporkan. “Pentinglah mematahkan penghalang dan monopoli yang menyebabkan begitu banyak negara pada ambang perkembangan, dan memberikan kepada semua individu dan bangsa-bangsa kondisi dasar yang akan memungkinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam perkembangan” (Centesimus Annus , 35) Komunikasi dan tehnologi informasi, bersama dengan latihan penggunaannya, merupakan salah kondisi dasar.
15. Politik,Para politisi yang jahat menggunakan media untuk menghasut dan menipu dengan mendukung kebijakan yang tidak adil dan rejim yang menindas. Mereka memberikan gambaran yang salah mengenai lawan-lawan mereka dan secara sistematis memutar balikkan kebenaran dan menekan kebenaran dengan propaganda dan “memutar balikkannya”. Maka di sini media bukannya mendorong untuk bersama - sama tapi membantu untuk memecah belah mereka, menciptakan ketegangan dan kecurigaan yang menyiapkan arena untuk konflik. Bahkan juga di negara-negara yang me nggunakan sistem demokrasi, merupakan hal yang biasa bahwa para pemimpin politik memanipulasi pendapat umum lewat media, dan bukannya mendorong partisipasi dalam proses politik dengan diberi informasi. Peraturan-peraturan mengenai demokrasi ditaati, tetapi tehnik-tehnik yang dipinjam dari periklanan dan humas dimanfaatkan untuk kepentingan kebijakan yang menindas kelompok-kelompok tertentu dan melanggar hak-hak asasi, termasuk hak untuk hidup (lih.Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, 70) Media juga kerap kali mempopulerkan relativisme dalam etika serta sikap mencari untung yang melatar belakangi budaya kematian. Mereka ikut ambil bagian dalam “persekongkolan melawan hidup” yang modern, dengan “mempercayai bahwa budaya yang menyajikan sumber untuk kontrasepsi, sterelisasi, pengguguran bahkan eutanasia sebagai tanda kemajuan dan kemenangan kebebasan, sementara itu menggambarkan bahwa yang menjadi musuh dari kebebasan dan kemajuan adalah pandangan yang dengan secara mutlak mendukung gerakan pro kehidupan” (Evangelium Vitae , 17 )
16. Kebudayaan. Para pengkritik kerap kali mencela kedangkalan dan selera rendah dari media, dan meskipun media tidak harus suram dan membosankan, tapi media hendaknya tidak harus menyolok mata dan merendahkan diri. Jangalah berdalih dengan mengatakan bahwa media mencerminkan standar yang populer; karena media juga dengan secara kuat mempengaruhi standar populer dan dengan demikian juga mempunyai kewajiban serius untuk mengangkatnya dan bukannya membuatnya menjadi merosot. Persoalan ini mempunyai macam-macam bentuk. Seharusnya media menjelaskan persoalan yang kompleks dengan secara hati-hati dan dengan benar, namun media pemberitaan menghindari atau menyederhanakannya. Media yang bersifat hiburan menyampaikan sajian yang merusak dan merendahkan martabat manusia, termasuk mengeksploitir seks dan kekerasan. Sungguh tidak bertanggung jawab untuk mengingkari atau menolak kenyataan bahwa “pornografi dan kekerasan yang sadis memerosotkan seksualitas, merongrong hubungan antar manusia, memeras individu, lebih-lebih para wanita dan kaum muda, meremehkan perkawinan dan kehidupan keluarga, memupuk sikap anti sosial dan melemahkan jaringan moral dalam masyarakat itu sendiri” (Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Pornografi dan Kekerasan dalam Media Komunikasi: Suatu Jawaban Pastoral, 10) Pada tingkat internasional, dominasi kebudayaan yang dipaksakan lewat alat-alat komunikasi social juga merupakan suatu persoalan yang serius, yang berkembang. Ungkapan tradisional kebudayaan disingkirkan dari media populer di beberapa tempat dan menghadapi kemusnahan, sementara itu nilai-nilai masyarakat yang makmur yang sekuler semakin mendesak nilai-nilai tradisional masyarakat yang kurang kaya dan tidak mempunyai kekuasaan. Dalam memperhatikan soal-soal ini, perhatian khusus harus diberikan untuk menyediakan kepada anak-anak dan kaum muda penyajian media yang menyebabkan mereka secara hidup berhubungan dengan warisan budaya mereka. Komunikasi antar lintas budaya sangat diharapkan. Masyarakat dapat dan hendaknya saling belajar satu sama lain. Tetapi komunikasi lintas budaya hendaknya jangan sampai mengorbankan yang kurang kuat.Pada jaman sekarang ini “kebudayaan-kebudayaan yang sangat kurang tersebar tidak lagi terasing. Mereka diuntungkan karena semakin bertambahnya hubungan antara mereka, namun mereka juga menderita karena tekanan dari suatu kecenderungan yang sangat kuat untuk mengadakan penyeragaman” (Menuju ke suatu Pendekatan Budaya terhadap Kebudayaan , 33) Sedemikian hal itu terjadi sehingga komunikasi sekarang mengalir dalam satu arah saja – dari bangsa-bangsa yang sudah berkembang kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan miskin – menimbulkan persoalan-persoalan etika yang serius. Apakah bangsa yang berkembang tidak punya sesuatu yang bisa dipelajari dari bangsa yang miskin? Apakah bangsa yang kuat tuli terhadap suara bangsa yang lemah ?
17.Pendidikan. Media dapat menyelewengkan perhatian orang dan menyebabkan mereka memboroskan waktu dan bukannya membantu dalam belajar. Lebih-lebih anak-anak dan kaum muda yang dirugikan dalam hal ini, tapi orang dewasa juga menderita karena penyajian yang kasar, dan tak bermutu. Salah satu sebab dari timbulnya penyalah gunaan terhadap kepercayaan ini oleh para komunikator ialah nafsu tamak yang mengutamakan keuntungan dibandingkan pribadi-pribadi. Kadang-kadang media digunakan sebagai alat untuk indoktrinasi, dengan tujuan mengontrol apa yang diketahui orang-orang dan tidak memberikan kepada mereka kemudahan untuk medapatkan informasi, yang tidak dikehendaki oleh para penguasa untuk mereka ketahui.Ini merupakan penyelewengan dari pendidikan yang sesungguhnya,yang berusaha untuk memperluas pengetahuan orang-orang dan ketrampilan mereka serta membantu mereka mencapai tujuan yang mulia, bukan mempersempit cakrawala mereka dan menguras tenaga mereka untuk mengabdi ideologi.
18. Keagamaan. Dalam hubungan antara komunikasi sosial dan agama, ada godaan pada kedua belah pihak. Pada sisi media, termasuk di sini tidak mengakui atau memojokkan ide-ide keagamaan dan pengalaman keagamaan; memperlakukan agama dengan salah pengertian atau malahan penghinaan, sebagai suatu obyek dari rasa ingin tahu yang tidak perlu diberi perhatian yang serius, memajukan tingkah laku keagamaan dengan mengorbankan iman yang tradisional; memperlakukan kelompok-kelompok keagamaan dengan sikap permusuhan; menilai agama dan pengalaman keagamaan dengan memakai standar sekuler mengenai apa yang cocok dan mendukung pandangan keagamaan yang sesuai dengan selera sekuler terhadap apa yang tidak cocok ; mencoba membelenggu yang transenden dalam batas –batas rasionalisme dan sikap skeptis. Media pada jaman sekarang kerap kali mencerminkan keadaan suatu kerohanian manusia pasca modern “yang terkurung dalam batas -batas imanensinya tanpa referensi apapun kepada yang transenden” ( Fides et Ratio, 81 ) Godaan dari pihak agama antara lain mempunyai pandang terhadap media yang semata-mata bersifat menghakimi dan negatip; tidak bisa mengerti bahwa standar yang masuk akal dari praktek media yang baik seperti misalnya sikap obyektip dan pengalaman mungkin mencegah perlakuan khusus demi kepentingan lembaga keagamaan.; menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara emosional,dan penuh dengan manipulasi, seolah-olah merupakan produk yang bersaing dalam suatu pasar yang dibanjiri; menggunakan media untuk mengontrol dan menguasai; merahasiakan hal-hal yang tidak perlu dan bertindak melawan kebenaran; meremehkan tuntutan Injil untuk bertobat, menyesal dan memperbaiki hidup, malahan menggantikannya dengan suatu semangat keagamaan yang lunak, yang menuntut sedikit dari umat; mendorong sikap fundamental, sikap fanatik, dan semangat keagamaan yang eksklusif yang membangkitkan kebencian dan sikap bermusuhan kepada orang-orang lain.
19. Singkat kata, media dapat digunakan untuk yang baik atau yang jahat – itu merupakan soal pilihan. “Tak dapat dilupakan bahwa komunikasi melalui media bukanlah suatu latihan yang bersifat pragmatis, yang semata-mata dimaksudkan untuk memberi motivasi, meyakinkan atau untuk menjual. Apalagi merupakan kendaraan bagi ideologi. Media kadang-kadang merendahkan manusia sehingga menjadi unit-unit konsumsi atau kelompok-kelompok minat yang bersaing, atau memanipulasi para pemirsa dan pembaca serta pendengar sehingga hanya menjadi nomor-nomor belaka dari mana sekedar keuntungan dicari, apakah berupa penjualan hasil produksi atau dukungan politik; dan hal-hal ini membinasakan komunitas. Merupakan tugas komunikasi untuk mempersatukan orang-orang dan memperkaya hidup mereka, bukannya mengasingkan mereka dan memeras mereka. Sarana komunikasi sosial, bila digunakan dengan tepat, dapat membantu untuk menciptakan dan mendukung suatu komunitas manusiawi yang berdasarkan keadilan dan kasih, dan sejauh mereka melakukan hal ini, mereka akan menjadi tanda-tanda pengharapan” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan pada Hari Komunikasi Sedunia ke 32, 1998)
IV. BEBERAPA PRINSIP ETIKA YANG RELEVAN
20. Prinsip-prinsip etika dan norma-norma yang relevan dalam bidang lain juga berlaku bagi komunikasi sosial. Prinsip-prinsip etika sosial seperti misalnya solidaritas, subsidiaritas, keadilan dan kesamaan, serta pertanggung jawaban dalam menggunakan sumber-sumber umum dan pelaksanaan peranan usaha-usaha umum selalu bisa diterapkan. Komunikasi harus selalu penuh kebenaran, karena kebenaran adalah hakiki bagi kebebasan individu dan demi komunitas yang otentik antara pribadi-pribadi. Etika dalam komunikasi sosial menyangkut bukan hanya apa yang adil, dengan apa yang Nampak dalam sinema dan layar televisi, pada siaran radio, pada halaman yang cetakan dan Internet, tapi sebagian besar juga di luar itu semua. Dimensi etika tidak hanya menyangkut isi komunikasi (pesan) dan proses komunikasi (bagaimana komunikasi dilakukan) tapi juga struktur fundamental dan persoalan-persoalan yang menyangkut sistem, yang kerap kali menyangkut persoalan-persoalan besar mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pembagian tehnologi yang canggih serta produknya (siapa yang akan kaya informasi dan yang akan miskin informasi) Persoalan-persoalan ini menunjuk ke persoalan lain yang mempunyai implikasi ekonomi dan politik untuk kepemilikan dan kontrol. Sekurang-kurangnya di masyarakat terbuka dengan ekonomi pasar, persoalan etika yang terbesar dari semua persoalan yang muncul tadi ialah bagaimanakah membuat keseimbangan antara keuntungan dan pelayanan kepada kepentingan umum yang dimengerti menurut suatu gagasan yang inklusif mengenai kesejahteraan umum. Bagi orang yang mempunyai kehendak baik sekalipun tidak selalu segera menjadi jelas bagaimanakah menerapkan prinsip-prinsip etika serta norma-norma dalam kasus-kasus khusus; refleksi, diskusi dan dialog dipeerlukan. Kami sampaikan hal-hal berikut ini dengan harapan bisa medorong refleksi dan dialog semacam itu - di antara para pembuat kebijakan mengenai komunikasi, para komunikator profesional, para ahlietika dan moral, para penerima komunikasi, dan orang-orang lain yang terkait.
21. Dalam tiga bidang ini – pesan, proses, persoalan mengenai struktur dan sistem – yang menjadi prinsip dasar etika adalah sebagai berikut : Pribadi manusia dan komunitas manusia merupakan tujuan dan ukuran dari penggunaan media komunikasi sosial; komunikasi dilakukan oleh pribadi-pribadi kepada pribadi-pribadi demi keutuhan perkembangan pribadi. Perkembangan yang utuh menuntut ada barang-barang material serta produk yang cukup baik, tapi juga perlu diperhatikan “dimensi batin” (Sollicitudo rei socialis, 29; bdk 46). Setiap orang patut mendapatkan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang dalam hal fisik, intelektual, emosi, rola serta rohani. Setiap individu mempunyai martabat yang tidak boleh dikurangi serta mempunyai arti penting, dan tidak pernah boleh dikorbankan untuk kepentingan bersama.
22. Prinsip kedua melengkapi prinsip yang pertama. Kesejahteraan pribadi-pribadi tidak da pat dilaksanakan terpisah dari kesejahteraan umum dari komunitas-komunitas yang menjadi anggotanya. Kesejahteraan umum ini hendaknya dipahami secara inklusif, sebagai jumlah keseluruhan dari tujuan yang layak dimiliki dan untuk mencapainya anggota komunitas secara bersama -sama menyerahkan dirinya dan komunitas ada justru untuk melayani kebutuhan tadi. Dengan demikian walaupun komunikasi sosial dibenarkan untuk memperhatikan kebutuhan dan minat kelompok-kelompok khusus tertentu, hendaknya hal itu jangan dila kukan sedemikian rupa sehingga menghadapkan satu kelompok dengan kelompok lainnya, misalnya demi konflik kelas, nasionalisme yang berlebih-lebihan, mengunggulkan ras, pembersihan etnis, dan hal-hal semacam itu. Keutamaan solidaritas, “suatu tekad yang kuat dan bertahan untuk menyerahkan diri sendiri pada kesejahteraan umum” (Sollicitudo rei socialis, 38) harus menguasai segala bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan. Komunikator dan para pembuat kebijakan komunikasi harus mengabdi kebutuhan riil dan minat dari individu-individu dan kelompok-kelompok, pada semua tingkatan dan segala macam. Ada kebutuhan yang mendesak untuk kesamaan pada tingkat internasional, di mana pembagian yang buruk mengenai barangbarang materiel antara Utara dan Selatan menjadi lebih buruk lagi dengan buruknya pembagian sumbersumber komunikasi dan tehnologi informasi karena produktivitas dan kemakmuran tergantung darinya. Persoalan yang serupa juga muncul di dalam negeri-negeri yang kaya, “di mana perubahan yang terus menerus dari metode produksi dan konsumsi menyebabkan merosotnya nilai dari ketrampilan tertentu yang sudah dimiliki serta kemahiran profesional” dan “mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan jaman dapat dengan mudah dipinggirkan” (Centesimus Annus , 33). Dengan demikian jelaslah bahwa diperlukan suatu partisipasi yang luas dalam mengambil keputusan tidak hanya mengenai pesan-pesan proses komunikasi sosial tapi juga mengenai soal-soal system dan alokasi sumber-sumber. Para pembuat keputusan mempunyai suatu kewajiban moral yang besar untuk mengakui kepentingan dan minat dari mereka yang secara khusus sangat rentan – kaum miskin, orang tua dan mereka yang belum lahir, anak-anak dan kaum muda, orang yang tertindas dan disisihkan, para wanita dan kaum minoritas, orang sakit dan kaum cacat, begitu juga keluarga dan kelompok relijius. Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, komunitas internasional dan kepentingan komunikasi internasional hendaknya mengambil sikap yang murah hati dan inklusip kepada bangsa-bangsa dan wilayah-wilayah di mana yang dilakukan oleh komunikasi sosial atau yang tidak dilakukannya, turut serta mengabadikan kejahatankejahatan seperti misalnya kemiskinan, buta huruf, tekanan politik dan pelanggaran hak-ahak asasi manusia, konflik antar golongan dan antar agama, dan penindasan kebudayaan asli.
23. Meskipun demikian kita tetap percaya bahwa “pemecahan terhadap masalah -masalah yang timbul dari komersialisasi tak teratur serta privatisasi tidaklah terletak dalam penguasaan media oleh Negara tapi lebih dalam pengaturan menurut kriteria pelayanan umum dan pertanggungan jawab yang lebih besar terhadap masyarakat. Sehubungan dengan hal ini patutlah dicatat bahwa meskipun kerangka kerja hokum dan politik dalam mana media beroperasi di beberapa negara sekarang ini sedang terjadi perubahan secara mencolok untuk menjadi lebih baik, sementara itu di tempat lain campur tangan pemerintah tetap merupakan salah satu alat untuk menekan dan mengucilkan” (Aetatis Novae , 5). Pengandaiannya yang ada ialah hendaknya selalu didukung kebebasan untuk mengungkapkan, karena “bila orang-orang mengikuti kencederungan kodrati mereka untuk tukar menukar gagasan dan menyatakan pendirian mereka, mereka tidak hanya menggunakan suatu hak. Mereka juga melakukan suatu kewajiban sosial” (Communio et Progressio , 45). Namun ditinjau dari segi etika, pengandaian ini bukanlah sesuatu norma yang mutlak, yang tak dapat dicabut. Ada beberapa contoh yang jelas, misalnya fitnah dan hojatan, pesan-pesan yang berusaha untuk mengembangkan konflik dan konflik di antara individu-individu dan kelompok, hal yang cabul dan pornografi, penggambaran kekerasan yang tak sesuai dengan akal sehat dimana mereka tidak berhak untuk mengkomunikasikannya. Jelaslah bahwa ungkapan bebas hendaknya selalu memperhatikan prinsip -prinsip seperti kebenaran, sikap jujur dan menghormati rahasia. Para komunikator profesional hendaknya secara aktip terlibat dalam mengembangkan dan menerapkan kode etik untuk tingkah laku dalam profesi mereka, dalam kerjasama dengan wakil-wakil masyarakat. Lembaga-lembaga keagamaan dan kelompok lain yang serupa patut ambil bagian dalam usaha yang terus menerus ini.
24.Prinsip lain yang relevan, yang telah disebutkan, menyangkut partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan komunikasi. Pada semua tingkatan, partisipasi ini hendaknya diorganisir secara sistematis dan sungguh-sungguh representatif, tidak berat sebelah untuk kepentingan kelompok khusus tertentu. Prinsip ini berlaku, dan mungkin secara khusus, di mana media dimiliki secara prive dan dioperasikan untuk mendapatkan keuntungan. Demi untuk partisipasi umum, para komunikator “harus berusaha untuk berkomunikasi dengan orang-orang, dan tidak hanya berbicara kepada mereka. Ini mencakup belajar mengenai kebutuhan orang-orang,menyadari perjuangan mereka dan menyajikan segala bentuk komunikasi dengan kepekaan yang dituntut oleh martabat manusia” (Paus Yohanes Paulus II, Sambutan kepada para spesialis di bidang komunikasi, Los Angeles, 15 September, 1987 ). Sirkulasi, rating dalam penyiaran serta “ box- office”, bersama dengan riset pasar, kadang-kadang dikatakan sebagai petunjuk yang terbaik mengenai perasaan publik – dan dalam kenyataannya, satu-satunya yang penting bagi hukum pasar untuk bekerja. Tak dapat diragukan lagi bahwa suara pasar dalam didengar dengan cara ini. Tetapi keputusan tentang isi media dan kebijakannya hendaknya jangan hanya diserahkan semata-mata pada pasar dan faktor-faktor ekonomi, yaitu keuntungan, sebab hal ini tidak dapat diandalkan untuk melindungi kepentingan umum secara keseluruhan dan lebih-lebih kepentingan dari kelompokkelompok minoritas Sedikit banyak, serangan ini mungkin dijawab dengan menggunakan konsep “ relung” menurut konsep ini majalah khsus, program dan stasiun penyiaran serta saluran tertentu diarahkan kepada kelompok pendengar/pemirsa khusus. Pendekatan semacam ini memang sah dalam arti tertentu. Tetapi pembedaan dan spesialisasi – yaitu mengorganisir media agar sesuai dengan para pendengar/pemirsa yang dipecah dalam kelompok-kelompok kecil, yang berdasarkan terutama pada faktor-faktor ekonomi dan polapola konsumsi – tidak boleh dilaksanakan terlalu jauh. Media komunikasi sosial harus tetap merupakan suatu “Aeropagus” (Redemptoris Missio, 37) – suatu forum untuk tukar menukar gagasan serta informasi, yang menarik individu-individu dan kelompok bersama-sama, seraya memupuk solidaritas dan perdamaian. Secara khusus Internet menimbulkan keprihatinan mengenai beberapa “ konsekuensi yang secara radikal baru yang dibawanya: yaitu hilangnya nilai intrinsik dari beberapa hal yang berkaitan dengan informasi, suatu keseragaman informasi yang tidak membeda-bedakan dalam pesan-pesannya yang dipersempit menjadi informasi semata-mata, kurangnya umpan balik yang bertanggung jawab dan kurang mendukung adanya hubungan antar pribadi” (Menuju ke suatu Pendekatan Pastoral terhadap Kebudayaan,9).
25. Para komunikator profesional bukanlah orang satu-satunya yang mempunyai kewajiban etika. Para pendengar/pemirsa – para penerima, juga mempunyai kewajiban. Para komunikator yang mencoba memenuhi tanggung jawab mereka patut mendapatkan pendengar yang sadar akan tanggung jawab mereka. Kewajiban utama dari para penerima komunikasi sosial ialah membeda-bedakan dan bersikap selektip. Mereka hendaknya menginformasi diri mereka mengenai media, - struktur mereka, cara kerja mereka, isinya – dan melakukan pilihan-pilihan yang penuh tanggung jawab, menurut kriteria yang sehat menurut etika, mengenai apa yang dibacanya atau dilihatnya serta didengarnya. Pada jaman sekarang ini setiap orang memerlukan beberapa bentuk pendidikan media yang terus menerus, entah dengan studi pribadi atau ikut ambil bagian dalam suatu program yang terorganisir atau kedua-duanya. Lebih dari hanya sekedar mengajarkan mengenai tehnik-tehnik, pendidikan bermedia membantu orang untuk membentuk standar dari selera yang baik dan penilaian moral yang benar secara moral, salah satu segi dalam pembentukan suara hati. Melalui sekolah-sekolahnya dan program-program pendidikannya, Gereja hendaknya menyediakan pendidikan bermedia semacam itu (lih, Aetatis Novae, 28; Communio et Progressio, 107) Aslinya kata-kata berikut ini ditujukan kepada lembaga-lembaga hidup bakti, namun mempunyai penerapan lebih luas: “Suatu komunitas, yang sadar akan pengaruh media, hendaknya belajar untuk menggunakannya untuk pertumbuhan pribadi dan komunitas, dengan kejelasan Injili dan kebebasan batin dari mereka yang telah belajar mengenal Kristus (lih. Gal. 4:17-23). Media menyampaikan, dan kerap kali memaksakan, suatu mentalitas dan model kehidupan yang terus menerus bertentangan dengan Injil. Dalam hubungan dengan hal ini, di banyak bidang orang mendengarkan keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih mendalam dalam menerima dan menggunakan media, baik secara kritis maupun secara berdayaguna “(Konggregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Hidup Persaudaraan dalam Komunitas, 34). Dengan cara yang sama, para orang tua mempunyai kewajiban yang serius untuk membantu anakanak mereka bagaimana menilai dan menggunakan media, dengan membentuk hati nurani mereka secara tepat dan mengembangkan kemampuan kritis mereka (lih. Familiaris Consortio, 76). Demi kepentingan anak-anak mereka maupun kepentingan mereka sendiri, para orang tua harus belajar dan mempraktekkan ketrampilan dari para pemirsa yang bisa mengadakan pembedaan serta pembaca dan pendengar, serta bertindak sebagai contoh dalam menggunakan media secara bijaksana dalam rumah mereka. Sesuai dengan umur mereka dan keadaan, para anak-anak dan kaum muda hendaknya terbuka terhadap pendidikan yang menyangkut media, dengan menolak jalan yang mudah yaitu sikap pasip yang tidak kritis, tekanan dari rekan-rekan seusia, serta tekanan komersial. Para keluarga, yaitu para orang tua bersama anak-anak – akan menemukan bahwa bergunalah untuk datang bersama -sama dalam kelompok untuk mempejarai dan mendiskusikan problem dan kesempatan yang diciptakan oleh komunikasi sosial.
26. Di samping memajukan pendidikan bermedia, lembaga-lembaga, perwakilan-perwakilan dan program-program dari Gereja mempunyai tanggung jawab lain yang penting sehubungan dengan komunikasi sosial. Pertama dan yang paling penting ialah praktek komunikasi Gereja hendaknya patut dicontoh, yang mencerminkan standar yang tinggi dari kebenaran, pertanggungjawaban, kepekaan terhadap hak-hak manusia, serta prinsip-prinsip serta norma lain yang relevan. Di samping itu, media Gereja sendiri hendaknya digunakan untuk mengkomunikasikan kepenuhan kebenaran mengenai arti hidup manusia dan sejarahnya, lebih-lebih seperti yang termuat dalam sabda Allah yang diwahyukandan diungkapkan oleh ajaran dari Kuasa Mengajar Gereja. Para Gembala hendaknya mendorong penggunaan media untuk mewartakan Injil (lih. Kitab Hukum Kanonik, Kanon 822, 1). Mereka yang mewakili Gereja haruslah jujur dan lurus dalam hubungan mereka dengan para wartawan. Meskipun kadang-kadang pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan “kadang-kadang membingungkan atau mengecewakan, lebih-lebih kalau hal itu sama sekali tidak sesuai dengan pesan yang harus kita sampaikan”, orang harus tetap ingat bahwa “pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan ini kerap kali ditanyakan oleh sebagian besar dari orang-orang yang sejaman dengan kita” (Menuju ke suatu Pendekatan Pastoral terhadap Kebudayaan,34). Agar Gereja bisa bicara secara meyakinkan, jawabanjawaban yang penuh kebenaran terhadap pertanyaan-pertanyaan ini agaknya merupakan suatu pertanyaan yang membingungkan. Orang-orang Katolik, seperti halnya warganegara lainnya, mempunyai hak untuk mengungkapkan diri dengan bebas, termasuk hak untuk mendapatkan media guna keperluan ini. Hak untuk mengungkapkan, termasuk mengungkapkan pendirian mengenai kesejahteraan Gereja,yang berkaitan dengan keutuhan iman dan moral, penghormatan terhadap para gembala dan pertimbangan mengenai kesejahteraan umum serta martabat pribadi (lih. Kanon 212, 3; Kanon 227 ). Namun tak seorang berhak bicara atas nama Gereja, atau secara tersamar menyatakan hal ini, kecuali kalau dia benar-benar ditunjuk; dan pendapat pribadi hendaknya tidak disam-paikan sebagai ajaran Gereja ( lih. Kanon 227 ). Gereja akan dilayani dengan baik kalau semakin banyak di antara mereka yang memiliki jabatan dan melakukan fungsi atas nama Gereja mendapatkan latihan komunikasi. Hal ini berlaku bukan hanya untuk para Seminaris saja, orang-orang yang terlibat dalam pendidikan di komunitas-komunitas religius, serta kaum muda katolik yang awam, tapi juga para pejabat Gereja pada umumnya. Asalkan media bersikap “netral, terbuka dan jujur”, memberikan kepada orang kristiani yang telah disiapkan dengan baik “suatu pernan misoner di garis depan” dan pentinglah bahwa mereka ini “dilatih dengan baik dan didukung”. Juga para pastor hendaknya memberikan kepada umat mereka bimbingan mengenai media dan pesan-pesannya yang kadang-kadang tidak cocok bahkan bersifat merusak (lih. Kanon 822. 2, 3 ). Pertimbangan-pertimbangan serupa juga berlaku dalam komunikasi intern dalam Gereja. Aliran informasi dua arah dan tukar pandangan antara para pastor dengan umat beriman, kebebasan untuk mengungkapkan hal yang peka demi kebaikan komunitas dan peranan Kuasa Mengajar Gereja dalam memupuk hal itu, dan pendapat umum yang bertanggung jawab, semuanya merupakan ungkapan penting dari “hak fundamental untuk berdialog serta informasi dalam Gereja” (Aetatis Novae, 10; lih. Communio et Progressio, 20). Hak untuk mengungkapkan harus dilaksanakan dengan sikap hormat terhadap kebenaran yang diwahyukan serta dan ajaran Gereja, serta hormat terhadap hak-hak Gereja yang lain (lih. Kanon 212.1,2,3. Kanon 220). Seperti komunitas-komunitas lainnya serta lembaga-lembaga lainnya, Gereja kadang-kadang memerlukan – bahkan kadang-kadang wajib – untuk mempraktekkan hal yang rahasia dan harus harus dirahasiakan. Tapi ini tidak demi untuk manipulasi atau mengontrol.Dalam pesekutuan iman, “para pemegang kuasa, yang dilengkapi dengan kuasa suatu kuasa suci, sesungguhnya diberi tugas untuk memajukan kepentingan saudara-saudara mereka, sehingga semua yang menjadi Umat Allah dan sebagai konsekuensinya memiliki martabat kristiani yang sejati, melalui usaha mereka yang bebas dan terarah dengan baik, dapat mencapai keselamatan” (Lumen Gentium , 18) Praktek yang benar dalam komunikasi merupakan salah satu cara untuk mewujudkan visi ini.
V. KESIMPULAN
27. Pada saat milenium ketiga jaman kristiani mulai, umat manusia sedang menciptakan suatu jaringan kerjasama global yang seketika untuk penyebaran informasi, gagasan dan pernilaian di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan, pendidikan, hiburan, politik, seni, agama dan bidang-bidang lainnya. Jaringan kerja ini sudah diarahkan langsung hingga dapat menjangkau banyak orang di rumah mereka, dan sekolah serta tempat-tempat bekerja– bahkan di manapun mereka berada. Sekarang ini sudah merupakan hal yang biasa untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa, mulai dari olah raga hingga peperangan, yang terjadi dalam waktu yang riil di bagian lain dari planet ini. Orang dapat mencari keterangan secara langsung dari sejumlah besar data, yang di luar jangkauan dari banyak ahli dan para mahasiswa beberapa waktu yang lampau. Seorang individu dapat mencapai puncak kegeniusan manusia dan kemungkinannya, atau menenggelamkan diri ke dalam kebobrokan manusia, sambil duduk sendirian menghadapi keyboard dan layar komputer. Tehnologi komunikasi terus menerus mencapai terobosan-terobosan baru, dengan kemampuan yang luar biasa untuk kebaikan atau kejahatan. Karena hubungan timbal balik sekarang ini meningkat, maka perbedaan antara para komunikator dan para penerima menjadi kabur. Diperlukan riset terus menerus mengenai dampak dari media yang baru dan yang sedang muncul dan lebih-lebih mengenai implikasi etis yang terkandung di dalamnya.
28. Meskipun memiliki kekuatan yang luar biasa, sarana komunikasi adalah, dan akan tetap hanya merupakan media – yaitu : instrumen, alat-alat, yang tersedia baik untuk digunakan secara baik atau digunakan secara buruk. Pilihan ada pada kita. Media tidak membutuhkan etika baru; media membutuhkan penerapan dari prinsip-prinsip yang ada pada keadaan yang baru. Dan hal ini merupakan tugas di mana setiap orang dapat mempunyai peranan di dalamnya. Etika dalam media bukan hanya menjadi urusan dari para spesialis, entah mereka spesialis di bidang komunikasi sosial atau spesialis dalam filsafat moral, melainkan hendaknya merupakan refleksi dan dialog yang didorong oleh dokumen ini dan bantuan yang diberikan harus bersifat luas dan inklusif.
29. Komunikasi sosial dapat mempersatukan orang -orang dalam komunitas simpati dan minat bersama. Apakah komunitas-komunitas ini akan diberi informasi mengenai keadilan, kelayakan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi,apakah mereka akan diarahkan demi kesejahteraan bersama? Ataukah mereka akan menjadi egois dan hanya melihat ke dalam, terlibat untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu – ekonomis, berdasarkan ras, politik atau keagamaan – dengan mengorban-kan orang lain? Apakah tehnologi yang baru akan mengabdi semua bangsa dan orang, sambil tetap menghormati tradisi budaya dari masingmasing, atau akan menjadi alat untuk memperkaya orang yang kaya dan memberikan kekuasan kepada orang yang kuat? Kita harus memilihnya. Alat-alat komunikasi juga bisa digunakan untuk memisahkan dan mengasingkan. Makin lama tehnologi memungkinkan orang untuk mengumpulkan paket -paket informasi dan pelayanan yang secara khusus diarahkan untuk mereka. Memang ada keuntungan yang riil dalam hal ini, namun hal ini menimbulkan pertanyaan yang tak dapat terelakkan lagi: Apakah para pemirsa/pendengar di masa mendatang merupakan sejumlah besar pendengar dari satu sumber? Meskipun tehnologi baru dapat memberikan otonomi perorangan, namun mempunyai akibat-akibat yang kurang diinginkan. Seharusnya menjadi suatu komunitas yang bersifat global, mungkin “web” di masa mendatang berubah menjadi suatu jaringan kerja yang luas dan terkeping-keping dari individu-individu yang terisolasi. Manusia –manusia yang sibuk dam sel mereka—berinteraksi dengan orang lain mengenai data dan bukannya berhubungan satu dengan yang lain. Akan jadi seperti apakah solidaritas—apakah jadinya kasih- dalam dunia seperti itu? Dalam keadaan yang paling baik, komunikasi manusia mempunyai keterbatasan yang serius, menjadi lebih kurang sempurna dan ada dalam bahaya mengalami kegagalan. Berat bagi orang-orang untuk secara tetap berkomunikasi dengan jujur satu terhadap yang lain, dengan cara yang tidak merugikan dan melayani kepentingan semua orang dengan cara yang sebaik-baiknya. Dalam dunia media kesulitankesulitan yang melekat dalam komunikasi kerap kali diperbesar oleh ideologi, oleh keinginan mencari untung dan kontrol di bidang politik, oleh persaingan dan konflik antara kelompok dan oleh penyakit social lainnya. Media pada jaman sekarang dengan sangat luas menambah jangkauan komunikasi sosial – dalam jumlahnya, kecepatannya; mereka tidak menjangkau dari pikiran ke pikiran, dari hati ke hati, kurang rapuh dan kurang peka, kurang cenderung untuk gagal.
30. Seperti telah kami katakan, sumbangan khusus yang diberikan oleh Gereja dalam percakapan mengenai persoalan ini adalah suatu visi mengenai pribadi manusia dan martabat mereka yang tak dapat dibandingkan dan hak-hak mereka yang tidak dapat diganggu gugat, dansuatuvisi mengenai komunitas manusia yang anggota-anggotanya memiliki keutamaan solidaritas dalam mengejar kesejahteraan semua orang. Perlunya dua visi ini sangatlah mendesak “pada saat dimana kita dihadapkan dengan ketidakseimbangan yang nyata mengenai perspektif di mana hal yang lekas berlalu diyakini sebagai suatu nilai dan kemungkinan untuk menemukan arti sebenarnya dari hidup diragu-ragukan”, tidak memiliki hal itu “banyak orang tersandung dalam kehidupan ini ke ujung paling pinggir dari jurang, tanpa mengetahui ke mana mereka akan pergi” (Fides et Ratio, 6) Menghadapi krisis semacam ini, Gereja berdiri sebagai seorang “ahli dalam kemanusiaan” yang keahliannya “menuntunnya secara mendesak untuk memperluas perutusan keagamannya ke berbagai bidang” dari usaha manusia (Sollicitudo Rei Socialis,41; lih Paus Paulus VI, Populorum Progressio, 13). Mungkin dia tidak mempertahankan kebenaran mengenai pribadi manusia dan komunitas manusia untuk dirinya sendiri, dia harus membagikannya secara bebas, dengan selalu menyadari bahwa orang-orang dapat mengatakan tidak kepada kebenaran – dan kepada Gereja.Sambil mencoba untuk memupuk dan mengembangkan standar etika yang tinggi dalam penggunaan sarana komunikasi sosial, Gereja berusaha untuk berdialog dan bekerjasama dengan orang-orang lain: dengan para pejabat publik, yang mempunyai kewajiban khusus untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan umum dari komunitas politik; dengan para pria dan wanita dari dunia budaya dan seni; dengan para ahli dan para guru yang terlibat dalam membentuk para komunikator dan para pemirsa di masa mendatang; dengan para anggota dari gereja-gereja lain dan kelompok keagamaan yang lain, yang mempunyai keinginan yang sama dengannya bahwa media harus digunakan untuk kemuliaan Allah dan pelayanan umat manusia (lih. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Kriteria untuk Kerjasama Ekumenis dan Antar Agama dalam Komunikasi); dan lebih-lebih dengan para komunikator profesional –para penulis, editor, reporter, koresponden, para pemain, produser, orang-orang tehnik - bersama dengan para pemilik, para administrator dan para pembuat kebijakan dalam bidang ini.
31.Bersama dengan keterbatasannya, komunikasi manusia mempu-nyai sesuatu dalam karya penciptaan Allah. “Dengan pandangan penuh kasih, Sang Seniman Ilahi meneruskannya kepada seniman manusia” – dan kita dapat mengatakan, juga kepada komunikator itu sendiri – “suatu percikan dari kebijaksanaannya sendiri yang mengatasi segala-galanya, memanggilnya untuk ikut ambil bagian dalam kuasanya yang menciptakan” dengan memahami hal ini, para seniman dan komunikator “memperoleh pemahaman yang sepenuh-penuhnya mengenai dirinya sendiri, panggilan mereka dan perutusan mereka” (Surat kepada para Seniman, 1) Para komunikator kristiani secara khusus mempunyai suatu tugas kenabian,suatu panggilan untuk berbicara melawan dewa-dewa palsu dan berhala-berhala pada jaman sekarang ini – materialisme, hedonisme, sikap konsumtif, nasionalisme yang sempit dan lain-lainnya – yang merintangi semua orang untuk melihat seperangkat kebenaran moral berdasarkan martabat manusia dan hak-haknya, mengutamakan orang yang miskin, tujuan universal dari barang -barang, kasih kepada musuh, dan penghormatan tanpa syarat kepada semua kehidupan manusia, mulai dari kandungan hingga ke kematian kodrati; dan mencari pelaksanaan yang lebih sempurna dari Kerajaan Allah di dunia ini, sambil tetap menyadari bahwa pada akhir jaman, Yesus akan memulihkan semua hal dan mengembalikannya ke pada Bapa ( lih. l Kor 15:24 ).
32. Karena refleksi ini ditujukan kepada semua orang yang punya kehendak baik, bukan hanya kepada orang katolik saja, maka tepatlah bahwa untuk lebih mendekatkan diri kepada mereka, berbicara mengenai Yesus sebagai salah satu teladan bagi para komunikator. “Pada jaman akhir ini” Allah Bapa “telah berbicara kepada kita dengan perantaraan seorang Putera” ( Ibr. 1:2 ); dan Putera ini mengkomunikasikan kepada kita sekarang dan selalu kasih Bapa dan arti terdalam dari hidup kita. “Selama Dia ada di dunia ini, Kristus mewahyukan Diri-Nya sebagai komunikator yang sempurna. Lewat Penjelmaan-Nya, Dia sepenuhnya menyamakan Diri-Nya dengan mereka yang harus menerima komunikasi-Nya, dan Dia memberikan pesan-Nya bukan hanya dengan kata-kata tapi dalam seluruh cara hidup-Nya. Dia berbicara dari dalam, yakni dari desakan umat-Nya. Dia mewartakan pesan ilahi tanpa takut atau kompromi. Dia menyesuaikan diri kepada cara bicara dari umat-Nya dan pada pola piker mereka. Dan Dia berbicara mengenai tanda-tanda jaman (Communio et Progressio 11 ) Selama hidup Yesus di muka umum orang banyak darang dari mana-mana untuk mendengarkan Dia berkotbah dan mengajar (lih. Mat. 8: 1,18; Mrk. 2:2, 4I; Luk. 5:1 dst), dan Dia mengajar mereka “sebagai seseorang yang mempunyai kekuasaan” ( Mat. 7:29; lih. Mark. 1:22; Luk. 4:32 ). Dia menceriterakan kepada mereka mengenai Bapa dan pada saat yang sama mengarahkan mereka pada Diri-Nya sendiri, dengan menjelaskan “Aku adalah jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 14:6) dan “dia yang melihat Saya telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Dia tidak membuang-buang waktu dengan percakapan yang sia-sia atau untuk membenarkan diri, juga tidak ketika Dia didakwa dan dikutuk (lih. Mat. 26:63, 27:12-14; Mark. 15:5, 15:61). Karena makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa yang telah mengutus-Nya (Yoh. 4:34), dan semua yang dikatakan-Nya dan dilakukan-Nya, dikatakan dan dilakukan dalam kaitan dengan hal tersebut Kerap kali ajaran Yesus menggunakan bentuk perumpamaan-perumpamaan dan kisah yang hidup yang menggambarkan kebenaran yang mendalam dengan istilah yang sederhana dan dengan istilah seharihari. Bukan hanya kata-kata-Nya tapi perbuatan-Nya terutama mukjijat-mukjijat-Nya, merupakan tindakan komunikasi, dengan menunjukkan identitas-Nya dan menampakkan kuasa Allah ( lih. Evangelii Nuntiandi, 12 ). Dalam komunikasi-Nya Dia menunjukkan sikap hormat terhadap para pendengar-Nya, simpati terhadap keadaan mereka dan kebutuhan mereka, ikut merasakan penderitaan mereka (mis Luks. 7:13), dan kepastian yang teguh untuk mengatakan kepada mereka apa yang perlu mereka dengarkan, dengan scara demikian rupa sehingga akan menarik perhatian mereka dan membantu mereka untuk menerima pesan, tanpa paksaan atau kompromi, penipuan atau manipulasi. Dia mengundang orang-orang lain untuk membuka pikiran dan hati mereka kepada-Nya, sadar bahwa ini merupakan jalan bagaimana mereka akan tertarik kepada-Nya dan kepada Bapa -Nya (mis. Yoh. 3: 1-5, 4: 7-26). Yesus mengajarkan bahwa komunikasi merupakan suatu perbuatan moral: “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggung jawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum” (Mat. 12: 34 – 37). Dengan keras Dia mengingatkan agar jangan memberikan sandungan “anak-anak kecil”, dan memperingatkan bahwa orang yang melakukannya “lebih baik bila sebuah batu gilingan yang besar dikalungkan ke lehernya dan dia ditenggelamkan ke dalam lautan” (Mark. 9:42; lih Mat. 18:6; Luk. 17:2) Dia juga terus terang, seseorang yang dapat dikatakan bahwa “tak ada kesalahan ditemukan dalam bibirnya” dan “bila Dia dihina, Dia tidak membalasnya; bila Dia menderita, Dia tidak mengancam; tapi Dia menyerahkan-Nya kepada Dia yang menghakimi dengan adil” (1 Petr. 2:22-23). Dia menekankan perlunya kejujuran dan kepercayaan kepada orang lain, seraya mengutuk sikap munafik, tidak jujur – setiap bentuk komunikasi yang bengkok dan busuk “Hendaknya apa yang kamu katakan” Ya “atau” Tidak, “tidak lebih dari itu sebab apa yang lebih berasal dari si jahat” (Mat. 5:37).
33. Yesus adalah model dan standar dari komunikasi kita. Bagi mereka yang terlibat dalam komunikasi sosial,apakah sebagai pengambil kebijakan atau komunikator yang profesional atau penerima atau dalam peran apapun yang lain, kesimpulannya jelas. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah yang benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota…Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ef. 4:25, 29). Mengabdi pribadi manusia, membangun komunitas manusiawi yang berdasarkan solidaritas dan keadilan serta kasih, dan bicara mengenai kebenaran tentang hidup manusia dan kepenuhannya yang terakhir dalam Allah telah, sekarang ini dan di masa mendatang akan tetap merupakan inti dari etika dalam Media.
Vatikan, 4 Juni, 2000, Hari Komunikasi Sedunia, Yubileum dari para Wartawan.
John P. Foley Pierfranco Pastore