Bulan
September biasanya, Gereja Katolik Indonesia memasuki bulan Kitab Suci
Nasional. Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan
Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin tangguh
dan mendalam imannya daam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidup dewasa ini.
BULAN
KITAB SUCI NASIONAL
Selintas Sejarah
Pada
bulan September telah dikhususkan oleh Gereja Katolik Indonesa sebagai Bulan
Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan untuk
mengisi bulan ini, mulai di lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di
kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca KS, pendalaman KS di
lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Terutama pada hari Minggu pertama
bulan itu, kita merayakan hari Minggu Kitab Suci Nasional. Perayaan Ekaristi
berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk KS, dan KS
ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci
Nasional ini berawal? Untuk apa?
Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL maupun PB. Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Dengan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.
Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL maupun PB. Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Dengan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.
Kitab
Suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik
Indonesia belum mengenalnya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu,
Lembaga Biblika Indonesia, yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan
Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan KS kepada umat dan
sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca KS. Hal ini dilakukan antara lain
dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari
Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar
keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat
khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar KS pada Hari Minggu tertentu.
LBI telah dua kali mencobanya. Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain. Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut:
LBI telah dua kali mencobanya. Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain. Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan umat dengan sabda Allah. KS juga
diperuntukkan bagi umat biasa, tidak hanya untuk kelompok tertentu dalam
Gereja. Mereka dipersilahkan melihatnya dari dekat, mengenalnya lebih akrab
sebagai sumber dari kehidupan iman mereka.
2. Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.
2. Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.
Dalam
sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam
tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu
yang dimaksudkan adalah Hari Minggu Pertama September. Dalam perkembangan
selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami KS semakin berkembang.
Satu Minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar
Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September
dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional
Dikutip dari
by: ekspresi Hati
Courtesy: YM Seto Marsunu
Sekretaris LBI
by: ekspresi Hati
Courtesy: YM Seto Marsunu
Sekretaris LBI